Kabupaten Majalengka (aksara Sunda: ᮊᮘᮥᮕᮦᮒᮔ᮪ ᮙᮏᮦᮜᮀᮊ), adalah sebuah kabupaten di Tatar Pasundan Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibu kotanya adalah Majalengka.
Majalengka juga nama yang sama digunakan dengan nama Kabupaten yang terletak di Jawa Barat. Sebagai Kota Kabupaten sudah tentu daerah ini mempunyai sejarah serta asal-usulnya sendiri. Hampir setiap orang Majalengka Percaya bahwa Majalengka berasal dari bahasa Cirebon yaitu dari kata Majae dan Langka, kata "Maja-e" artinya Buah Maja-nya, sedang kan kata "Langka" artinya Hilang[3] atau tidak ada.
Sejarah
Pada zaman kerajaan Hindu-Buddha sampai dengan abad ke-15, di wilayah Kabupaten Majalengka terbagi menjadi 3 kerajaan:
- Kerajaan Talaga Manggung dipimpin oleh Sunan Corenda atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Parung
- Kerajaan Rajagaluh dipimpin oleh Prabu Cakraningrat
- Kerajaan Sindangkasih, dipimpin oleh seorang puteri bernama Nyi Rambut Kasih
Terdapat banyak cerita rakyat tentang ke-3 kerajaan tersebut yang sampai dengan saat ini masih hidup di kalangan masyarakat Majalengka. Selain cerita rakyat yang masih diyakini juga terdapat situs, makam-makam dan benda-benda purbakala, yang kesemuanya itu selain menjadi kekayaan daerah juga dapat digunakan sebagai sumber sejarah.[4].
Kerajaan Talaga Manggung
Raja Batara Gunung Picung
Kerajaan Hindu di Talaga berdiri pada abad XIII Masehi, Raja tersebut masih keturunan Ratu Galuh bertahta di Ciamis, dia adalah putera V, juga ada hubungan darah dengan raja-raja di Pajajaran atau dikenal dengan Raja Siliwangi. Sunan Talaga manggung putra Pandita Prabu Darmasuci putra Batara Gunung Picung putera Suryadewata putera bungsu dari Maharaja Sunda Galuh Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340) di GaluhKawali, Ciamis. Penguasa Kerajaan Sunda Galuh biasanya digelari Siliwangi. Daerah kekuasaannya meliputi Talaga, Cikijing, Bantarujeg, Lemahsugih, Maja dan sebagian Selatan Majalengka.Pemerintahan Batara Gunung Picung sangat baik, agam yang dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama Hindu.Pada masa pemerintahaannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat sepanjang lebih 25 Km tepatnya Talaga - Salawangi di daerah Cakrabuana.Bidang Pembangunan lainnya, perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di daerah Cikijing.Tampuk pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung 2 windu.Raja berputera 6 orang yaitu :- Sunan Cungkilak - Sunan Benda - Sunan Gombang - Ratu Panggongsong Ramahiyang- Prabu Darma Suci- Ratu Mayang KarunaAkhir pemerintahannya kemudian dilanjutkan oleh Prabu Darma Suci.
Raja Prabu Darma Suci
Disebut juga Pandita Perabu Darma Suci. Dalam pemerintahan raja ini Agama Hindu berkembang dengan pesat (abad ke-XIII), nama dia dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai daerah Sumatra. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga, apakah kunjungan tamu-tamu merupakan hubungan keluarga saja tidak banyak diketahui.Peninggalan yang masih ada dari kerajaan ini antara lain Benda Perunggu, Gong, Harnas atau Baju Besi.Pada abad XIIX Masehi dia wafat dengan meninggalkan 2 orang putera yakni:- Bagawan Garasiang - Sunan Talaga Manggung
Raja Sunan Talaga Manggung
Tahta untuk sementara dipangku oleh Begawan Garasiang,namun dia sangat mementingkan Kehidupan Kepercayaan sehingga akhirnya tak lama kemudian tahta diserahkan kepada adiknya Sunan Talaga Manggung.Tak banyak yang diketahui pada masa pemerintahan raja ini selain kepindahan dia dari Talaga ke daerah Cihaur Maja.
Raja Sunan Talaga Manggung
Sunan Talaga Manggung merupakan raja yang terkenal sampai sekarang karena sikap dia yang adil dan bijaksana serta perhatian dia terhadap agama Hindu, pertanian, pengairan, kerajinan serta kesenian rakyat.Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya.Dia berputera dua, yaitu :- Raden Pangrurah - Ratu Simbarkencana Raja wafat akibat penikaman yang dilakukan oleh suruhan Patih Palembang Gunung bernama Centangbarang. Kemudian Palembang Gunung menggantikan Sunan Talaga Manggung dengan beristrikan Ratu Simbarkencana. Tidak beberapa lama kemudian Ratu Simbarkencana membunuh Palembang Gunung atas petunjuk hulubalang Citrasinga dengan tusuk konde sewaktu tidur.Dengan meninggalnya Palembang Gunung, kemudian Ratu Simbarkencana menikah dengan turunan Panjalu bernama Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu dan dianugrahi 8 orang putera di antaranya yang terkenal sekali putera pertama Sunan Parung.
Raja Ratu Simbarkencana
Sekitar awal abad XIV Masehi, dalam tampuk pemerintahannya Agama Islam menyebar ke daerah-daerah kekuasaannya dibawa oleh para Santri dari Cirebon.juga diketahui bahwa tahta pemerintahan waktu itu dipindahkan ke suatu daerah disebelah Utara Talaga bernama Walangsuji dekat kampung Buniasih (Desa Kagok Banjaran) .Ratu Simbarkencana setelah wafat digantikan oleh puteranya Sunan Parung.
Raja Sunan Parung
Pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja.Hal yang penting pada masa pemerintahannya adalah sudah adanya Perwakilan Pemerintahan yang disebut Dalem, antara lain ditempatkan di daerah Kulur, Sindangkasih, Jerokaso Maja.Sunan Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung.
Kerajaan Islam Talaga (Pengaruh Kasultanan Cirebon)
Raja Ratu Sunyalarang
Sebagai puteri tunggal dia naik tahta menggantikan ayahandanya Sunan Parung dan menikah dengan turunan putera Prabu Siliwangi bernama Raden Rangga Mantri atau lebih dikenal dengan Prabu Pucuk Umum.Pada masa pemerintahannya Agama Islam sudah berkembang dengan pesat. Banyak rakyatnya yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya baik Ratu Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum memeluk Agama Islam. Agama Islam berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka.Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama Islam. Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah keturunan dari prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah dia yang bernama Raden Munding Sari Ageung merupakan putera dari Prabu Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan Ratu Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV.Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah Selatan.
Raja Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum
Dari pernikahan Raden Rangga Mantri dengan Ratu Parung (Ratu Sunyalarang putri Sunan Parung, saudara sebapak Ratu Pucuk Umun suami Pangeran Santri ) melahirkan 6 orang putera yaitu :- Prabu Haurkuning - Sunan Wanaperih - Dalem Lumaju Agung- Dalem Panuntun - Dalem Panaekan Akhir abad XV Masehi, penduduk Majalengka telah beragama Islam.Dia sebelum wafat telah menunjuk putera-puteranya untuk memerintah di daerah-daerah kekuasaannya, seperti halnya :Sunan Wanaperih memegang tampuk pemerintahan di Walagsuji; Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja; Dalem Panuntun di Majalengka sedangkan putera pertamanya, Prabu Haurkuning, di Talaga yang selang kemudian di Ciamis. Kelak keturunan dia banyak yang menjabat sebagai Bupati.Sedangkan dalem Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, sukamenak, nunuk Cibodas dan Kulur.Prabu Pucuk Umum dimakamkan di dekat Situ Sangiang Kecamatan Talaga.
Raja Sunan Wanaperih
Terkenal Sunan Wanaperih, di Talaga sebagai seorang Raja yang memeluk Agama Islam pun juga seluruh rakyat di negeri ini semua telah memeluk Agama Islam. Dia berputera 6 orang, yaitu :- Dalem Cageur - Dalem Kulanata - Apun Surawijaya atau Sunan Kidul- Ratu Radeya - Ratu Putri - Dalem Wangsa Goparana. Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya Sarngsingan sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan bernama Sayid Faqih Ibrahim lebih dikenal Sunan Cipager. Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang Cianjur, kelak keturunan dia ada yang menjabat sebagai bupati seperti Bupati Wiratanudatar Idi Cikundul. Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji, tetapi dia digantikan oleh puteranya Apun Surawijaya, maka pusat pemerintahan kembali ke Talaga. Putera Apun Surawijaya bernama Pangeran Ciburuy atau disebut juga Sunan Ciburuy atau dikenal juga dengan sebutan Pangeran Surawijaya menikah dengan putri Cirebon bernama Ratu Raja Kertadiningrat saudara dari Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon.Pangeran Surawijaya dianungrahi 6 orang anak yaitu - Dipati Suwarga-Mangunjaya - Jaya Wirya - Dipati Kusumayuda - Mangun Nagara - Ratu Tilarnagara Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning. Pengganti Pangeran Surawijaya ialah Dipati Suwarga menikah dengan Putri Nunuk dan berputera 2 orang, yaitu :- Pangeran Dipati Wiranata- Pangeran Secadilaga atau pangeran Raji Pangeran Surawijaya wafat dan digantikan oleh Pangeran Dipati Wiranata dan setelah itu diteruskan oleh puteranya Pangeran Secanata Eyang Raga Sari yang menikah dengan Ratu Cirebon menggantikan Pangeran Secanata. Arya Secanata memerintah ± tahun 1762.
Kerajaan Sindangkasih
Mandala Sindangkasih dan Kerajaan Sindangkasih
Kerajaan dan wilayah Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari kata Sunda. Pada mulanya kata “Sunda” atau “Suddha” dalam bahasa Sanskerta diterapkan pada nama sebuah gunung yang menjulang tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih karena tertutup abu asal gunung tersebut[5].
Keberadaan kerajaan Sindangkasih pada tahun 1480 atau pertengahan abad ke-15.[6]Kerajaan Sindangkasih disebutkan dalam berbagai naskah Babad di tanah Sunda. Pandangan masyarakat Sunda bahwa kemandalaan seringkali disebut sebagai kerajaan. Pandangan ini muncul karena struktur kemandalaan yang juga memiliki prajurit pengamanan seringkali diersamakan dengan kerajaan. Termasuk Kemandalaan Sindangkasih, Mandala Sindangkasihdipertukarkan pengertiannya dengan kerajaan.
Kesulitan pengertian dalam historiografi modern Barat, struktur kerajaan adalah sebuah struktur badan, wilayah dan administratif. Pandangan ini berbeda bagi masyarakat Nusantara. Bisa kita cermati bahwa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Tarumanagara juga disebut Mandala.
Dalam pengertian historis, sosial dan politik, istilah "mandala" juga digunakan untuk menunjukkan formasi politik tradisional Asia Tenggara (seperti federasi kerajaan atau negara-negara atau kerajaan kecil). Ini diadopsi oleh para sejarawan Barat abad ke-20 dari wacana politik India kuno sebagai sarana untuk menghindari istilah 'negara' dalam pengertian konvensional. Tidak hanya negara-negara Asia Tenggara yang tidak sesuai dengan pandangan Cina dan Eropatentang negara yang ditetapkan secara teritorial dengan perbatasan tetap dan aparatur birokrasi, tetapi mereka berbeda jauh dalam arah yang berlawanan: pemerintahan didefinisikan oleh pusatnya daripada batas-batasnya, dan itu bisa tersusun dari banyak pemerintahan jajahan lainnya tanpa mengalami integrasi administratif. Kerajaan seperti Bagan, Ayutthaya, Champa, Khmer, Sriwijaya dan Majapahit dikenal sebagai "mandala" dalam pengertian ini.[7]
Beberapa Mandala atau kemandalaan di tatar Sunda ada yang berkembang menjadi kerajaan. Misalnya Mandala Indraprahastamenjadi Kerajaan Indraprahasta; Mandala Wanagiri menjadi Kerajaan Wanagiri; Mandala Kendan menjadi Kerajaan Kendan dengan rajanya yang termashur Gururesi atau Rajaresi Manik Maya berlokasi di Rancaekek Bandung sekarang. Mandala Bitung Giri menjadi Kerajaan Talaga Manggung Dan banyak lagi contoh lainnya.
Rupanya Mandala Sindangkasih tidak tercatat berubah menjadi Kerajaan, kecuali dalan Naskah Babad yang menyebutkan Kerajaan Sindangkasih yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Nyi Rambut Kasih.
Dalam masa pemerintahan Dipati Ukur, Sindangkasih disebut sebagai Umbul Sindangkasih. Istilah umbul setara dengan Kabupaten sekarang. Catatan dari Kerajaan Sumedanglarang bahwa Sindangkasih merupakan bagian dari wilayah kerajaannya.
Mitos Nyi Rambut Kasih
Kerajaan Sindangkasih dipimpin oleh seorang ratu, yaitu Ratu Nyi Rambut Kasih[6]. Ia anak dari Ki Gedeng Sindang kasih yang berasal dari kata Gede Ing Sindangkasih. Artinya Pembesar atau Pemimpin di Sindangkasih. Itu bukan nama orang tetapi sebutan saja. Sama halnya dengan sebutan Siliwangi. hal ini telah menjadi budaya di Sunda bahwa menyebut nama orang apalagi pembesar adalah Tabu. Begitu pula orang yang disapa akan merasa dihormati.
Inilah yang menyulitkan menelusuri sejarah Sunda di wilayah pedalaman (tengah pulau) termasuk Sindangkasih. Sumber-sumber luar seperti dari Catatan Musafir China, Portugisdan Arab bisa menjadi sumber sejarah (Proto-Sejarah). Catatan Belanda bisa menjadi sumber sejarah, karena dianggap bersumber dari dalam negeri. Keberadaan Sindangkasih merujuk wilayah Kota Majalengka Sekarang ada dalam tulisan catatan Belanda mengenai perjalan selama masa perkebunan kopi: Namun tdak menyebutkan secara jelas bahwa Sindangkasih adalah kerajaan, tetapi Sindangkasih adalah Kota Majalengka sekarang.
Kembali ke Mandala atau kabuyutan. Sepertinya, Sindangkasih hanya berupa Kamandalaan atau Kabuyutan yang Bercorak Agama Hyang (Darma), Budha atau Hindu. Meskipun dalam berbagai legenda diceritakan bahwa Nyi Rambut Kasih bergamana Hindu. Berawal dari rencana mengunjungi Kerajaan Talaga, tetapi niat ini dibatalkan karena kerajaan Talaga telah beragama Islam.
Sindangkasih dalam Wilayah Tatar Ukur
Sindangkasih merupakan salah satu umbul dalam pemerintahan Bupati Wedana Dipati Ukur. Dipati Ukur (Wangsanata atau Wangsataruna) adalah seorang bangsawan penguasa Tatar Ukur pada abad ke-17.
Tatar dalam bahasa Sunda berarti tanah atau wilayah. Sedangkan dipati (adipati) adalah gelar bupati sebelum zaman kemerdekaan.Dipati Ukur adalah Bupati Wedana Priangan yang pernah menyerang VOC di Batavia atas perintah Sultan Agung dari Kesultanan Mataram pada tahun 1628. Serangan itu gagal, dan jabatan Dipati Ukur dicopot oleh Mataram. Untuk menghindari kejaran pasukan Mataram yang akan menangkapnya, Dipati Ukur dan pengikutnya hidup berpindah-pindah dan bersembunyi hingga akhirnya ditangkap dan dihukum mati di Mataram. Umbul Sindangkasih yang dipimpin Ki Somahita atau Tumenggung Tanubaya terlibat dalam penangkapan Dipati Ukur.
Tumenggung Tanubaya (ki Somahita) menjadi Umbul Sindangkasih, yaitu Garda pertahanan Kesultanan Mataram di Tatar Pasundan yang merupakan Wilayah Ukur dengan Bupati Wedana Dipati Ukur. Umbul Sindang Kasih adalah 1 dari 3 Umbul wilayah Ukur yang tidak patuh pada Dipati Ukur, hingga melaporkan Dipati Ukur ke Sultan Agung Mataram.
Sesepuh dan Budayawan Majalengka, Deddy Ahdiat pernah menggali asal usul Kota Majalengka secara supranatural yang diliput SCTV dalam program Potret, dan dikatakan bahwa Majalengka adalah Mataram peralihan. Awalnya membingungkan, ternyata benar bila mengikuti kisah penangkapan Dipati ukur tahun 1632.
Penangkapnya adalah tiga umbul dari Priangan Timur, yaitu Umbul Sukakerta (Ki Wirawangsa), Umbul Cihaurbeuti (Ki Astamanggala) dan Umbul Sindangkasih (Ki Somahita). Dipati Ukur kemudian dibawa ke Mataram dan oleh Sultan Agung dijatuhi hukuman mati pada tahun 1632
Berdasarkan data yang dikirimkan Rangga Gempol III pada masa VOC, maka kekuasaan Prabu Geusan Ulun meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung, sebagai berikut:
- Batas di sebelah Timur adalah Garis Cimanuk - Cilutung ditambah Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
- Di sebelah Barat garis Citarum - Cisokan.
- Batas di sebelah Selatan laut.
- Namun di sebelah Utara diperkirakan tidak meliputi wilayahnya karena telah dikuasai oleh Cirebon.
Berdasarkan data surat dari Rangga Gempol III di atas, menunjukan data bahwa wilayah Sindangkasih (Majalengka kota sekarang) adalah bagian dari Kerajaan Sumedang Larang.
Meskipun awalnya Mandala merupakan sebuah tempat suci keagamaan, tetapi penyebutannya mencakup ke dalam wilayah yang lebih luas. Kota Majalengka sekarang dahulu disebut Sindangkasih. Hingga abad ke-18 - abad ke-19, Setidaknya dalam buku "Tijdschrift voor neërlands indie" tahun 1844masih menyebut kota Sindangkasih, bukan Majalengka.[8] kota Majalengka masih disebut Sindangkasih sebagaimana dicatat dalam buku "Commentaar § 1-1500. II. Staten en Tabellen", 1912 mengaskan bahwa Sindangkasih yang dimaksud adalah Majalengka[9]. Buku ini merupakan komentar atau review sejarah penyerangan Mataram ke Batavia dari sudut pandang Belanda. Kejadian ini pada 17 Juni 1741. Yang paling tegas menyebutkan pada buku "Handleiding bij de beoefening der land- en volkenkunde van Nederlandsch-Oost Indie" lebih jelas dan tegas bahwa kota Majalengka sekarang adalah Sindangkasih.[10][11]
Mengingat cara hidup di lingkungan Mandala lebih berat dari pada cara hidup di lingkungan Nagara, karena lebih banyak aturan yang bersifat keagamaan berupa perintah dan larangan, maka kiranya penduduk Mandala, termasuk orang Sindangkasih -majalengka generasi pertama, merupakan orang-orang pilihan yang memiliki pengetahuan agama, pengalaman rohani dan disiplin diri lebih banyak di bandingkan penduduk Nagara yang umum. Hubungan antara Mandala dan nagara umumnya berlangsung baik, karena kedua pihak saling membutuhkan. Nagara membutuhkan Mandala bagi keperluan dukungan moral dan spiritual serta pemberian do’a restu.
Mandala dianggap oleh Nagara sebagai pusat kesaktian, pusat kekuatan gaib, yang dapat memancarkan pengaruhnya terhadap nagara. Baik atau buruk tergantung hubungan antara Mandala dan Nagara.[12]
Kerajaan Rajagaluh
Kerajaan Rajagaluh berada di Kecamatan Rajagaluh, kurang lebih 35 km arah timur dari pusat kota Majalengka. Desa Rajagaluh adalah sebuah Kerajaan dibawah wilayah kekuasaan kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi. Saat itu Kerajaan Rajagaluh dibawah tampuk pimpinan seorang raja yang terkenal digjaya sakti mandraguna. Agama yang diantunya adalah agama Hindu.
Pada tahun 1482 Masehi, Syeh Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati) mengembangkan Islam di Jawa Barat dengan secara damai. Namun dari sekian banyak Kerajaan di tatar Pasundan hanya Kerajaan Rajagaluh yang sulit ditundukan.
Setelah Kerajaan Cirebon memisahkan diri dari wilayah Kerajaan Pajajaran maka pembayaran upeti dan pajak untuk Kerajaan Cirebon dibebeaskan, tetapi untuk Kuningan pajak dan upeti masih berlaku. Untuk penarikan pajak dan upeti dari Kuningan Prabu Siliwangi mewakilkan kepada Prabu Cakra Ningrat dari Kerajaan Rajagaluh. Akhirnya Prabu Cakra Ningrat mengutus Patihnya yang bernama Adipati Arya Kiban ke Kuningan, tetapi ternyata adipati Kuningan yang bernama adipati Awangga menolak mentah-mentah tidak mau membayar pajak dengan alasan bahwa Kuningan sekarang masuk wilayah Kerajaan Cirebon yang sudah membebaskan diri dari Kerajaan Pajajaran. Sebagai akibat dari penolakannya maka terjadilah perang tanding antara Adipati Awangga dan Adipati Arya Kiban. Dalam perang tanding keduanya sama-sama digjaya, kekuatannya seimbang sehingga perang tanding tidak ada yang kalah atau yang menang. Tempat perang tanding sekarang dikenal sebagai desa "Jalaksana" artinya jaya dalam melaksanakan tugas.
Syeh Syarif Hidayatulloh mengutus anaknya Arya Kemuning yang dikenal sebagai Syeh Zainl Akbar alias Bratakalana untuk membantu Adipati Awangga dalam menghadapi Adipati Arya Kiban. Dengan bantuan Arya Kemuning akhirnya adipati Arya Kiban dapat dikalahkan. Adipati Arya Kiban melarikan diri dan menghilang didaerah Pasawahan disekitar Telaga Remis, sebagian prajuritnya ditahan dan sebagian lagi dapat meloloskan diri ke Rajagaluh. Semenjak kejadian tersebut Kerajaan Rajagaluh segera menghimpun kekuatannya kembali untuk memperkokoh pertahanan menakala ada serangan dari Kerajaan Cirebon.
Sebagai pengganti Adipati Arya Kiban ditunjuk Arya mangkubumi, Demang Jaga Patih, Demang Raksa Pura, dan dibantu oleh Patih Loa dan Dempu Awang keduanya berasal dari dataran Cina. Syeh Syarif Hidayatulloh melihat Kerajaan Rajagaluh berkesimpulan bahwa prajurit Cirebon tidak akan mampu menaklukan Rajagaluh kecuali dengan taktik yang halus. Hal ini mengingat akan kesaktian Prabu Cakraningrat. Akhirnya Syeh Sarif Hidayatulloh mengutus 3 (tiga) orang utusan yakni Syeh Magelung Sakti, Pangeran Santri, Pangeran Dogol serta diikut sertakan ratusan Prajurit. Pengiriman utusan dari Cirebon dengan segera dapat diketahui oleh Prabu Cakra Ningrat, beliaupun segera menugaskan patih Loa dan Dempu Awang untuk menghadangnya. Saat itupun terjadilah pertempuran sengit, tetapi prajurit Cirebon dapat dipukul mundur, Melihat prajurit Cirebon kucar-kacir maka majulah Syeh Magelung Sakti, Pangeran Santri dan Pangeran Dogol, terjadilah perang tanding melawan Patih Loa dan Dempu Awang. Perang tanding tidak kunjung selesai karena kedua belah pihak seimbang kekuatannya, yang akhirnya pihak Cirebon mundur dari daerah Rajagaluh.
Prajurit Cirebon terus menerus berupaya menyerbu kota Rajagaluh. Pertahanan Rajagaluh semakin lemah sehingga Rajagaluh mengalami kekalahan. Prabu Cakra Ningrat sendiri melarikan diri. Sementara anaknya Nyi Putri Indangsari tidak ikut serta dengan ayahnya, Ia pergi kesebelah utara sekarang di kenal dengan Desa Cidenok. Di Cidenok Nyi Putri tidak lama, ia teringat akan ayahnya. Nyi Putri sadar apapun kesalahan yang dilakukan oleh Sang Prabu Cakra Ningrat, sang Prabu adalah ayah kandungnya yang sangat ia cintai, iapun berniat menyusul ayahnya, tetapi ditengah perjalanan Nyi Putri dihadang oleh prajurit Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Birawa. Nyi Putri dan pengawalnya ditangkap kemudian diadili. Pengadilan akan membebaskan hukuman bagi Nyi Putri dengan syarat mau masuk islam. Akhirnya semua pengawalnya masuk islam tapi Nyi Putri sendiri menolaknya, maka Nyi Putri Indangsari ditahan disebuah gua. Alkisah menghilangnya Adipati Arya Kiban yang cukup lama akibat kekalahannya oleh Adipati Awangga saat perang tanding, ia timbul kesadarannya untuk kembali ke Rajagaluh untuk menemui Prabu Cakra Ningrat untuk meminta maaf atas kesalahannya. Namun yang ia dapatkan hanyalah puing-puing kerajaan yang sudah hancur luluh. Ia menangis sedih penuh penyesalan. Ia menrenungkan nasibnya dipinggiran kota Rajagaluh. Tempat tersebut sekarang dikenal dengan Batu Jangkung (batu tinggi). Ditempat itu pula akhirnya Adipati Arya Kiban ditangkap oleh prajurit Cirebon, kemudian ditahan/dipenjarakan bersama Nyi Putri Indangsari disebuah gua yang dikenal dengan Gua Dalem yang berada di daerah Kedung Bunder, Palimanan. Dikisahkan bahwa Nyi Putri Indangsari dan Adiapti Arya Kiban meninggal di gua tempat ia dipenjarakan (Gua Dalem), kisah lain keduanya mengilang.[13]
Masa Penjajahan Belanda
Pembentukan Kabupaten Maja.
Tahun 1819 dibentuk Karesidenan Cirebon yang terdiri atas Keregenaan (Kabupaten) Cirebon, Kuningan, Bengawan Wetan, Galuh (Ciamis Sekarang) dan Maja. Kabupaten Maja adalah cikal bakal Kabupaten Majalengka. Pembentukan Kabupaten Maja berdasarkan Besluit (Surat Keputusan) Komisaris Gubernur Jendral Hindia Belanda No.23 Tanggal 5 Januari 1819. Kabupaten Maja adalah gabungan dari tiga distrik yaitu. Distrik Sindangkasih, Distrik Talaga, dan Distrik Rajagaluh. Kabupaten Maja beribu kota di Kota Kecamatan Maja sekarang. Bupati pertama Kabupaten Maja adalah RT Dendranegara. Kabupaten Maja mencakup wilayah Talaga, Maja, Sindangkasih, Rajagaluh, Palimanan dan Kedondong.
Perubahan Nama Kabupaten Maja menjadi Kabupaten Majalengka.
Tanggal 11 Februari 1840, keluar surat Staatsblad No.7 dan Besluit Gubernur Jendral Hindia Belanda No.2 yang menjelasakan perpindahan Ibu kota Kabupaten ke Wilayah Sindangkasih yang kemudian diberi nama 'Majalengka', kemudian nama Kabupaten disesuaikan dengan nama ibu kota kabupaten yang baru, dari Kabupaten Maja menjadi Kabupaten Majalengka. Pemberian nama Majalengka atau dari mana asal usul Majalengka masih menjadi misteri, Nama Majalengka menurut Legenda adalah ucapan ‘Majane Langka” dari pasukan Cirebon serta Pangeran Muhammad dan Siti Armilah ketika tidak menemukan buah Maja setelah Hutan Pohon Maja dihilangkan oleh Nyi Rambut Kasih, Ratu Kerajaan Sindangkasih. Dalam Buku Sejarah Majalengka Karya N. Kartika yang mewawancarai Budayawan Ayatrohaedi, Nama Majalengka bila diartikan dalam bahasa Jawa Kuno yaitu kata ‘Maja’ merupakan nama buah dan kata ‘Lengka’ yang berati pahit, jadi kata 'Majalengka' adalah nama lain dari kata Majapahit. Majalengka sebagai ibu kota kabupaten selanjutnya semakin dikuatkan dengan adanya Surat Staatsblad, 1887 No. 159 mengatur dan menjelaskan tentang batas-batas wilayah dari Kota Majalengka.
Masa Penjajahan Jepang
Masa penjajahan Jepang (1942-1945) di Majalengka ditandai dengan adanya eksploitasi romusha dan pembangunan Lapangan Terbang Militer Jepang di Kawasan Ligung. Lapangan terbang ini diselesaikan pada tahun 1944, dan pasukan Jepang dari sana terbang untuk melakukan operasi militer di Burma (Myanmar) pada tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar