Selasa, 06 Agustus 2019

Siapa Pangeran Muhammad


Pangeran Muhammad Begitu Masyhur di Majalengka, Siapa Dia?
Makam Pangeran Muhammad di Perbukitan Margatapa, Kelurahan Cicurug, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Foto/SINDOnews/Inin Nastain
Nama Pangeran Muhammad tak asing lagi bagi masyarakat Majalengka, Jawa Barat. Maklum, nama ini juga diabadikan sebagai nama jalan di wilayah tersebut. Siapa dia?
Pangeran Muhammad disebut-sebut salah satu tokoh yang memiliki peran penting dalam lahirnya Majalengka. Namun, ada sejumlah versi tentang tokoh ini dan kedatangannya ke Majalengka.

Satu versi menyebutkan bahwa dia adalah utusan dari Kerajaan Cirebon untuk mencari buah maja. Pangeran Muhammad juga disebut-sebut menyebarkan ajaran Islam kepada penguasa Sindangkasih (sebutan Majalengka di masa lalu) Nyi Rambut Kasih.

Dikutip dari www.disparbud.jabarprov.go.id, pada 1480-an Sunan Gunung Jati mengutus Pangeran Muhammad menyebarkan agama Islam di Majalengka. Kemampuan Pangeran Muhammad dalam hal keislaman cukup mendalam, telah menjadikan penyebaran agama Islam semakin lancar. Awal tahun 1500-an Pangeran Muhammad memperistri Siti Armilah, seorang putri pemuka agama Islam di Sindang Kasih. Siti Armilah membantu suaminya menyebarkan ajaran agama Islam. Perkawinan Pangeran Muhammad dengan Siti Armilah dikaruniai seorang putra bernama Pangeran Santri. Pangeran Muhamad meninggal pada tahun 1546.


Namun, versi tersebut hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti kuat. Begitu juga dengan sosok Nyi Rambut Kasih, yang tidak jarang dianggap sebagai legenda.
Pangeran Muhammad Begitu Masyhur di Majalengka, Siapa Dia?

Dalam versi yang lain, Pangeran Muhammad disebut-sebut sebagai orang biasa, yang kebetulan mendapat mandat dari salah satu hakim di Kanoman, Cirebon, yakni Kiai Raden Imam Hukum untuk menjadi sekar dalem atau sebutan populernya kuncen (juru kunci). Muhammad Hafidz, demikian nama asli dari Pangeran Muhammad dalam versi ini.

Muhammad Hafidz bukan satu-satunya orang yang mendapat mandat dari hakim di Kanoman itu. Ada juga nama Suropudin dan Nurqo'im yang mendapat mandat itu. Mandat itu dikeluarkan pada tanggal 18 Muharom tahun Jim Akhir 1215 H atau 1794 Masehi.

"Ada prasasti dalam kulit kambing tentang itu. Tulisannya pakai bahasa Arab Pegon, berbahasa Jawa. Saat menjadi sekar salem itu mendapat tanah bengkok (semacam hak guna), dikasihnya di daerah Sindangkasih," kata sejarawan Majalengka Rachmat Iskandar saat berbincang denganSINDOnews, Kamis (22/11/2018).

Namun sayang, dalam perjalanannya, keberadaan Muhammad Hafidz mengolah tanah bengkok di Sindangkasih itu mendapat gangguan dari warga sekitar. Tidak ada keterangan penyebab munculnya gangguan tersebut. Akibat mendapat rongrongan, akhirnya Muhammad Hafidz pindah ke daerah Margatapa. 

"Muhammad Hafidz memilih bertapa di Gunung Margatapa. Beliau tinggal di sana sampai meninggal. Jadi, ada kemungkinan kalau Pangeran Muhammad yang dimaksud, yang saat ini ada makamnya di Margatapa itu ya Muhammad Hafidz, sekar dalem utusan hakim di Kanoman itu," jelas dia.

Namun sayang, hingga saat ini belum ditemukan keterangan yang menunjukkan kapan Muhammad Hafidz itu meninggal. Begitu juga dengan apakah dia memiliki anak, serta siapa istri dari Muhammad Hafidz. "Belum ada keterangan atau tanda-tanda yang membahas tentang itu," papar dia.
Pangeran Muhammad Begitu Masyhur di Majalengka, Siapa Dia?

Sementara, makam Pangeran Muhammad yang diduga adalah Muhammad Hafidz yang terletak di Kelurahan Cicurug, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka itu, dalam waktu tertentu cukup ramai dikunjungi masyarakat yang berziarah. Selain itu, nama Pangeran Muhammad juga diabadikan sebagai salah satu jalan di ruas jalan Cigasong-Rajagaluh.


Sumber : https://daerah.sindonews.com/read/1357185/29/pangeran-muhammad-begitu-masyhur-di-majalengka-siapa-dia-1543034595 

Sejarah singkat kota majalengka

Pada waktu itu kerajaan Cirebon mengutus Pangeran Muhammad untuk mencari obat yaitu “Buah Maja” sedangkan buah itu hanya ada di kerajaan “Sindang Kasih” yang dipimpin oleh Nyi Rambut Kasih.
Pangeran Muhammad datang ke Sindangkasih bukan hanya mencari buah maja tetapi sambil menyebarkan Agama Islam, padahal saat itu kerajaan Sindangkasih sudah menganut Agama Hindu.
Setelah mendengar itu selaku pemimpin kerajaan Nyi Rambut Kasih akan memberikan buah itu tetapi ada syaratnya, Pangeran Muhammad harus masuk Agama Hindu, sedangkan ia menolak untuk masuk agama Hindu.
Maka Nyi Rambut Kasih murka dengan manghilangkan kerajaannya dan seluruh rakyatnya jadilah hutan dan gunung. Tetapi keinginan Pangeran Muhammad untuk mendapatkan buah itu sangat besar karena Nyi Rambut Kasih tidak mengabulkannya, maka Pangeran Muhammad bertapa / bersemedi agar diberi namun sampai tutup usia tidak diberi.
Beliau bertapa dibukit dan bukit itu diberi nama “MARGATAPA” dan kerajaan Sindangkasih menjadi hutan dan gunung. Akhirnya daerah itu disebut “Majalangka / Majalengka” sampai sekarang menjadi kota kecil.
Kabupaten Majalengka memiliki 23 kecamatan, yaitu :
1. Kecamatan Lemahsugih
2. Kecamatan Bantarujeg
3. Kecamatan Cikijing
4. Kecamatan Cingambul
5. Kecamatan Talaga
6. Kecamatan Banjaran
7. Kecamatan Argapura
8. Kecamatan Maja
9. Kecamatan Majalengka
10. Kecamatan Cigasong
11. Kecamatan Sukahaji
12. Kecamatan Rajagaluh
13. Kecamatan Sindangwangi
14. Kecamatan Leuwimunding
15. Kecamatan Palasah
16. Kecamatan Jatiwangi
17. Kecamatan Dawuan
18. Kecamatan Panyingkiran
19. Kecamatan Kadipaten
20. Kecamatan Kertajati
21. Kecamatan Jatitujuh
22. Kecamatan Ligung
23. Kecamatan Sumberjaya
NB ; Hari jadi kota Majalengka tepatnya 7 Juni 1490
*1945 – 1490 = 445 thn (sebelum Merdeka)
*445 – 335 = 105 thn (sebelum Penjajah)
Bupati :
1. RT. Dendranegara 1819 – 1848
2. RAA. Kartadiningrat 1848 – 1857
3. RAA. Bahudenda 1857 – 1863
4. RAA. Supradningrat 1863 – 1883
5. RAA. Supriadipraja 1883 – 1885
6. RMA. Supraadiningrat 1885 – 1902
7. RA. Sastrabahu 1902 – 1922
8. RMA. Suriatanudibrata 1922 – 1944
9. RA. Umar Said 1944 – 1945
10. R. Enoch 1945 – 1947
11. R.H. Hamid 1947 – 1948
12. R. Sulaeman Nata Amijaya 1948 – 1949
13. M. Chavil 1949
14. RM. Nuratmadibrata 1949 – 1957
15. H. Aziz Halim 1957 – 1960
16. H. RA. Sutisna 1960 – 1966
17. R. Saleh Sediana 1966 – 1978
18. H. Moch. S. Paindra 1978 – 1983
19. H. RE. Djaelani, SH. 1983 – 1988
20. Drs. H. Moch. Djufri Pringadi 1988 – 1993
21. Drs. H. Adam Hidayat, SH., M.Si 1993 – 1998
22. Hj. Tutty Hayati Anwar, SH., M.Si 1998 – 2008
23. H. Sutrisno, SE., M.Si 2008 – 2013

Sumber : https://www.google.com/amp/s/midrus21.wordpress.com/2013/11/24/sejarah-singkat-kota-majalengka/amp/ 

Asal mula terbentuknya nama " MAJALENGKA "

Majalengka adalah salah satu Kabupaten yang terletak di Jawa Barat, sebagai Kota Kabupaten sudah barang tentu  daerah ini mempunyai sejarah serta asal-usulnya sendiri. Hampir  setiap orang Majalengka Percaya bahwa Majalengka berasal dari bahasa Cirebon yaitu dari kata Majae dan Langka, kata [Maja-e] bermaksud [Buah Majanya] sedang kan kata [Langka] bermaksud [Hilang/Ora ana/Langka].
Munculnya Kata Majae Langka yang kemudian dipakai sebagai nama Kabupaten yang berbatasan dengan Cirebon dan Indramayu ini dikaitk-kaitkan dengan perseteruan Nyi Rambut Kasih selaku Ratu Sindangkasih Yang waktu itu masih memeluk Hindu-Budha Vs Cirebon Yang Islam. 

Dikisahkan katanya "Orang Cirebon mencari buah Maja di Sindangkasih untuk dijadikan bahan obat-obatan (ada kemungkinan obat malaria) tapi si Ratu karena benci dengan orang Cirebon kemudian membabad habis pohon maja itu, sehingga ketika orang Cirebon sampai ke Sindangkasih mereka orang Cirebon itu berkata "MAJAE LANGKA=BUAH MAJANYA HILANG'".

Belakangan setelah penguasa Sindangkasih selanjutnya memeluk Islam, diceritakan kata Majae Langka itu digunakan untuk menggantikan nama Sindangkasih, sebagai penghormatan kepada orang Cirebon yang telah meng Islamkan Sindangkasih. Sehingga setelah itu munculah Keadipatian Majalengka yang bercorak Islam menggantikan Sindangkasih Kerajaan yang bercorak Hindu Budha.

Sumber : https://www.historyofcirebon.id/2017/09/sejarah-asal-usul-terbentuknya.html?m=1 

Asal mula nama Majalengka

Majalengka, sebuah kota kecil di kawasan Jawa Barat. Mayoritas mata pencaharian masyarakat Kota Majalengka yakni bertani.
Kota Majalengka, seperti kota-kota yang lain di Indonesia juga mempunyai sejarah tersendiri. Masyarakat kita merupakan masyarakat yang sangat lekat dan mempercayai sejarah terjadinya atau asal-usul suatu wilayah. Kota Majalengka pun memiliki kisahnya sendiri yang dituturkan secara turun temurun dalam bentuk sastra lisan oleh masyarakatnya.
Tuturan mengenai asal-usul wilayah ini dimaksudkan bukan hanya ditujukan agar keturunannya mengetahui ihwal mula terjadinya Kota Majalengka saja, namun juga meneruskan bentuk-bentuk tradisi lainnya, terlebih hal-hal yang berkenaan dengan kepercayaan akan roh leluhur yang masih menjaga wilayah tersebut.
Asal lMula Kota Majalengka
Dalam cerita yang berkunjung di masyarakat Kota Majalengka, dikisahkan bahwa penamaan Majalengka berasal dari nama sebuah pohon yakni pohon maja. Saat itu, Kota Majalengka belum bernama Majalengka. Kota Majalengka berupa sebuah kerajaan Hindu yang dipimpin oleh seorang ratu yang sangat fanatik bernama Nyi Rambut kasih, ada pula yang menyebutnya Nyi Ambet Kasih.
Dahulu, wilayah Majalenkg bernama Sindangkasih. Saat ini kata Sindangkasih digunakan sebagai sebuah desa di Kota Majalengka. Nyi Rambut kasih adalah sosok seorang ratu cantik, sakti, dan bijaksana. Nyi Rambutkasih mampu membuat Sindangkasih menjadi daerah yang aman, tenteram, makmur dan sentosa.
Sindangkasih merupakan daerah yang subur. Berbagai tanaman melimpah ruah di daerah ini. Daerah ini dipenuhi hutan yang membentang kea rah utara dan selatan. Dalam hutan itu, pohon berbatang lurus dantinggi dengan bentuk daun kecil-kecil, mendominasi di hutan itu. Pohon itu dinamakan pohon maja. Pohon yang memiliki khasiat untuk menyembuhkan sakit demam.
Suatu hari, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah yang telah memeringah Cirebon, menitahkan kepda anaknya yang bernama Pangeran Muhammad untuk mendapatkan pohon maja. Ia member tugas kepada anaknya karena saat itu warganya sedang terserang penyakit demam.
Disebabkan pohon maja memiliki khasiat menyembuhkan demam, maka Pangeran Muhammad pergi bersama istrinya yang bernama Nyi Siti Armilah untuk ke daerah Sindangkasih. Mereka tidak hanya diberi titah mencari pohon maja, melainkan memiliki tugas untuk menyebarkan agama islam di Sindangkasih, sebuah kerajaan hindu yang dipimpin seorang ratu yang fanatik.
Nyi Rambutkasih sebagai seorang ratu yang sakti, mengetahui maksud kedatangan Pangeran Muhammad. Ia kemudian mengubah rupa hutan di Sindangkasih menjadi hutan pohon jati, bukan pohon maja.
Melihat pohon maja yang dicarinya sudah tidak ada, Pangeran Muhammad pun berkata: Maja Langka yang berarti pohon maja tidak ada. Dari situlah ihwal penamaan Kota Majalengka yang sekarang ini.
Pangeran Muhammad yang kecewa kemudian memutuskan tidak akan kembali ke Cirebon. Ia bertapa di kaki gunung hingga meninggal. Gunung itu kini bernama Margatapa. Sementara istrinya, mencari pohon maja dan menaklukan Nyi Rambutkasih yang fanatik agar bersedia memeluk agama islam.
Nyi Rambutkasih menolak dengan keras ajakan Nyi Siti Armilah, hingga ia berucap, “Aku seorang ratu pelindung rakyat yang berkelakuan jujur dan baik, sebaliknya aku adalah ratu yang tak pernah ragu untuk menghukum rakyatknya yang bertindak curang dan buruk. Dan karena itu aku tak akan mati dan tidak mau mati.”
Kemudian, Nyi Siti Armilah menimpali dengan perkataan :”Jika demikian halnya, makhluk apakah gerangan namanya, yang tidak akan mati dan tidak mau mati?”
Seiring dengan perkataan Nyi Siti Armilah itu, Nyi Rambutkasih pun melenyap (dalam bahasa sunda ngahiang) tanpa meninggalkan bekas kuburannya. Meskipun demikian, beberapa petilasan Nyi Rambutkasih masih dianggap angker, di antaranya sumur “Sindangkasih”, sumur Sunjaya, sumur “Ciasih” dan batu-batu bekas bertapa Nyi Rambutkasih.
Setelah peristiwa itu, Nyi Siti Armilah menetap di kerajaan Sindangkasih dan menyebarkan agama islam. Ia dimakamkan di samping kail Citangkurak. Di kali itu tumbuh pohon badori. Sebelum meninggal, Nyi Siti Armilah beramanat bahwa di dekat kuburannya kelak akan menajdi tempat tinggal penguasa yang mengatur pemerintahan di daerah maja yang langka.
Letak makam Nyi Siti Armilah terletak dielakang gedung Kabupaten Majalengka. Masyarakat Kota Majalengka menamakannya Embah Gendeng badori dan kerap dikunjungi untuk ziarah.
Masyarakat Kota Majaelngka sebagian besar masih mempercayai adanya roh Nyi Rambutkasih yang menjaga atau menguasai Kota Majalengka. Selama rakyat Kota Majalengka masih berkelakuan jujur dan baik, maka kehidupan di kota Majalengka akan tetap tenteram, aman, subur, makmur dan sentosa.


Sumherb: http://sejarahmajalengka.blogspot.com/2015/11/asal-mula-nama-majalengka.html?m=1 

Nyi Rambut Kasih dan Kerajaan-kerajaan Sunda di Majalengka (Sebuah Penelusuran Pra-Islam).

[Historiana] - Abad ke-XV kawasan Majalengka sekarang, terdapat beberapa kerajaan urang Sunda yang berlandaskan agama Sunda, Hindu dan Budha sekalipun tidak semua kerajaan tersebut sempat meninggalkan data-data sejarah secara kuat. Adapun kerajaan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Kerajaan Talaga, Kerajaan Sindangkasih, Kerajaan Jatiraga.

Legenda Nyi Rambut Kasih
Nama Nyai Rambut Kasih bagi warga Kabupaten Majalengka kerap dikaitkan dengan sejarah berdirinya daerah tersebut. Ratu Ayu Panvidagan, begitulah nama asli Nyai Rambut Kasih. Dia adalah seorang ratu Majalengka yang cantik rupawan. Sang Ratu pun dan kerap mengurai rambut panjangnya dalam kesehariannya.

Bahkan berdasarkan cerita, kecantikan sang ratu tak ada bandingannya pada zamannya. Tak hanya cantik, dia pun memiliki kesaktiaan yang luar biasa, sehingga tak seorang pun sanggup menatap kemolekan wajah Nyai Rambut Kasih. Kerajaan yang menjadi pemerintahannya saat itu bernama Sindang Kasih. Konon Kerajaan Sindang Kasih terkenal dengan buah yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Nama buah itu bernama buah Maja.

Nyai Rambut Kasih juga dikenal sebagai sosok ratu yang memerintah negerinya dengan penuh cinta, aman, damai, dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya dengan ketulusan tanpa kepentingan apapun. Ratu Nyai Rambut Kasih konon kabarnya masih keturunan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang terkenal di tatar Sunda. Nyai Rambut Kasih masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan Walangsungsang.

Menurut cerita rakyat, awal mula Nyai Rambut Kasih datang ke Majalengka bermula hendak menemui saudaranya di daerah Talaga. Saudaranya bernama Raden Munding Sariageng suami dari Ratu Mayang Karuna yang waktu itu memerintah di Kerajaan Talaga Manggung.

Di perbatasan Majalengka tepatnya di Talaga, Nyai Rambut Kasih mendengar jika saudaranya sudah masuk Islam. Sehingga dia mengurungkan niatnya menemui saudaranya. Dia singgah di Sindangkasih dan membuat pemerintahan dengan daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati.

Pada masa pemerintahannya, di wilayah Cirebon tengah dilanda penyakit yang tidak ada obatnya. Sunan Gunung Djati saat itu berusaha untuk bisa mengobati penyakit yang diderita rakyatnya. Namun hasilnya nihil. Kemudian Sunan Gunung Djati berdoa kepada Allah agar bisa menemukan obat tersebut.

Dalam doa itu, Sunan Gunung Djati mendapatkan petunjuk bahwa obat untuk mengobati rakyatnya terdapat di Kerajaan Sindang Kasih berupa pohon Maja. Kemudian, kanjeng Sunan memerintahkan putranya Pangeran Muhammad bersama istrinya Siti Armilah bersama sebagian prajuritnya menemui penguasa di Kerajaan Sindang Kasih, yang tak lain adalah Nyai Rambut Kasih.

Disamping itu, Pangeran Muhammad diperintahkan pula agar menyebar agama Islam di wilayah tersebut, yang kala itu banyak beragama Hindu.

Dalam pengembaraannya, Pangeran Muhammad bersama istrinya Siti Armilah mendapatkan respon positif dari rakyat Sindang Kasih. Hal itu ditandai dengan banyaknya rakyat yang memeluk agama Islam. Kabar itu terdengar oleh sang ratu dan membuatnya murka. Kemudian, sang ratu memerintahkan prajuritnya untuk mengungkap kebenaran berita tersebut. Ternyata setelah diselidiki kabar itu memang benar adanya. Akan tetapi Nyai Rambut Kasih saat mengetahui sosok Pangeran Muhammad adalah sosok yang tampan.

Dia pun tak bisa mengelak akan ketampanannya dan langsung terpana. Hingga akhirnya sang ratu jatuh cinta. Singkat cerita, Pangeran Muhammad kemudian datang menghadap ke Kerajaan Sindang Kasih dan bertemu dengan Nyai Rambut Kasih. Dia mengutarakan maksudnya yakni meminta buah Maja dan mengajak memeluk Agama Islam. Namun, permintaan pindah agama ditolak mentah-mentah. Sedangkan buah Maja akan diberikan dengan syarat Pangeran Muhammad mau menikahinya.

Pangeran Muhammad menyanggupi persyaratan itu, asalkan Nyai Rambut Kasih memeluk agama Islam dulu. Menanggapi permintaan itu, ratu menolaknya. Hingga akhirnya terjadi pertempuran antara Pangeran Muhammad dengan Nyai Rambut Kasih.

Saat terjadi pertempuran, Ratu Nyai Rambut Kasih terdesak dan hampir mengalami kekalahan.

Hingga akhirnya, karena tak rela buah Maja yang menjadi simbol kerajaan tersebut sang Ratu pun akhirnya menghilangkan diri bersama buah Majanya.

Saat melihat kondisi tersebut, prajurit Pangeran Muhammad yang berasal dari Cirebon, berkata "Maja langka..", "Maja Langka.." yang dalam bahasa Indonesia Langka artinya tidak ada atau menghilang.

Dididuga karena pelafalan yang sulit, sehingga orang sunda, menyebutnya Maja lengka (Majalengka). Hingga akhirnya nama Kabupaten Majalengka tidak terlepas dari kisah tersebut. Maja Langka menjadi Majalengka, begitu menurut cerita rakyat yang berada dari mulut ke mulut secara turun temurun.

Mengenai bukti keberadaan Nyai Rambut Kasih, selain berada di Gedung Pendopo Kabupaten Majalengka dengan kamar khususnya. Konon kerap kali pegawai Pemkab Majalengka menyaksikan penampakkan seorang wanita berambut panjang terurai mengenakan gaun ala wanita bangsawan jaman dulu. Diyakini betul bila itulah sosok Nyai Rambut Kasih. Selain gedung pendopo, petilasan Nyai Rambut Kasih yang kerap dikunjungi masyarakat, terletak di Kampung Parakan, Kelurahan Sindang Kasih, Majalengka.

Di sana terdapat bangunan bercungkup, batu-batu tempat semadi dan Sumur Cikahuripan yang airnya dipercaya bisa membawa keberkahan dalam hidup. Bahkan pada 7 Juni 1994, Bupati Majalengka H Adam Hidayat ketika itu, berkenan meresmikannya sebagai kawasan cagar budaya yang harus dilindungi. Selain Sindang Kasih, tempat persinggahan Nyai Rambut Kasih lainnya terdapat di Dusun Banjaran Hilir, Kecamatan Banjaran, Majalengka.

Lokasinya berada di tanah milik seorang juru kunci yang diamanahi secara turun-temurun. Masyarakat Dusun Banjaran Hilir dan sekitarnya, sampai sekarang masih mempercayai akan kehadiran sosok Nyai Rambut Kasih di tempat itu.

Bila ada warga yang hendak menggelar pesta pernikahan atau khitanan, sudah menjadi keharusan untuk terlebih dahulu melakukan ziarah dan berkirim doa kepada Nyai Rambut Kasih. Dan apabila di dalam pesta digelar pula hiburan Jaipongan, maka sinden harus melantunkan tembang Sunda kesukaan Nyai Rambut Kasih seperti Kembang Beureum, Engko dan Salisih.

Konon, bila sinden tidak menembangkan lagu itu, maka akan ada keluarga empunya hajat yang kesurupan.


Kerajaan Sindangkasih (?)
Nama Sindangkasih dapat dipastikan diambil dari Mandala Sindangkasih. Istilah Mandala menunjukkan terpengaruh agama Budha. Brangkali ini merupakan perubahan nama dari "Kabuyutan" atau kedua istilah itu digunakan untuk menunjukkan hal yang sama yaitu tempat suci sekaligus tempat menuntut ilmu keagamaan.

Dari Mandala inilah terlahir orang-orang cerdas berilmu tinggi. Ilmu di sini tidak saja berkaitan dengan ilmu kanuragan (yang sering disalahartikan masyarakat), tetapi juga mengenai ilmu sains terapan. Konon, para raja menjadikan Mandala sebagai "kawah candradimuka" mereka sebelum nyakrawati, menjabat sebagai raja.

Menurut Undang A Darsa, pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad XV-XVI Masehi) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali.

Dari 73 Mandala yang disebutkan Undang A Darsa adalah Mandala Sindangkasih. Dimanakah lokasinya? tentu berkaitan dengan sistem kosmologi Sunda yaitu pegunungan, bukit atau dalam bahasa Sunda disebut pasir.

Kami menelusuri jejak Mandala Sindangkasih ini. Lokasi ideal di wilayah Sindangkasih (Majalengka) untuk pegunungan adalah di wilayah Selatan kota Majalengka sekarang. wilayah selatan cenderung berbukit. namun demikian adapula Gunung Tempuh (Gunung Tilu) di utara kota Majalengka. Kami pun menelisik gunung ini. Namun masih belum menemukan bukti keras bahwa di lokasi ini sebagai Mandala.

Meskipun ada petilasan Nyi Rambut Kasih di Desa Sindangkasih, sepertinya tidak menunjukkan bahwa itu wilayah kemandalaan. Wilayah yang kami teliti gunung atau bukit disebelah selatan petilasan. Fokus kami ke Gunung Karang Bentang, Batu Karang dan Gunung Balay.

Dalam sebuah legenda bahwa di Gunung Balay terdapat petilasan Prabu Aji Putih dari Kerajaan Tembong Ageung cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Benarkah demikian? Menilik wilayah Sumedang sebenarnya tidak jauh dari kota Majalengka, apalagi dari Gunung Balay ini. Sekira 2 km ke arah selatan ada Sungai Cilutung dan diseberang selatan itu adalah Desa Cimaningtim Sumedang. Kok bisa ada petilasannya? Mari kita cermati apa yang dimaksed petilasan dan mengapa dihormati orang Suda.


Petilasan berasal dari kata "tilas" artinya bekas. Dengan tambahan awalan "pe" dan akhiran "an" menjadi kata benda dalam hal ini penunjuk tempat. Sama halnya dengan "Mandi" jadi "Pemandian", juga serupa dengan "Pemondokan" Dalam ageman Sunda, bekas duduk bahkan bersandarnya orang suci "pamali" alias tabu bagi rakyat untuk duduk atau bersandar di "tilas" orang suci duduk atau bersandar. Hal ini diuraikan secara gamblang dalam Kitab Siksa Kanda Ng Karesian:



Sumber : https://hystoryana.blogspot.com/2018/03/nyi-rambut-kasih-dan-kerajaan-kerajaan.html?m=1

MELACAK JEJAK KERAJAAN TALAGA: TOPONOMI AREA SEKITAR SITU SANGIANG

ni satu “page” lain berkenaan dengan Kerajaan Talaga. Kerajaan Talaga amat miskin dengan tinggalan sejarah yang berupa artefak atau “prasasti” dan sumber tulisan lainnya. Dua saja yang setidaknya sudah meyakinkan saya. Pertama, Wawacan Bujangga Manik yang menyebut “dayeuh” (kota) Walang Suji dan “nama kerajaan” alas Talaga, dengan anggapan dasar (asumsi) Prabu Jaya Pakuan yang bersembunyi dalam alias Bujangga Manik itu benar-benar mendeskripsikan (memaparkan) topografi (sebutan-sebutan daerah) sebagaimana adanya. Tidak ada unsur subjektivitas di dalamnya, karena hanya menyebutkan saja.
Kedua, tulisan Pauline C.M. Lunsingh Scheurleer dan Marijke J. Klokke, “Ancient Indonesia Bronzes: A Catalogue of the Exhibition in the Rijkmuseum,” 1988. Scheurleer dan Klokke menampilkan gambar patung Bodhisattwa dalam bentuk Vajrapani (Wajrapani, Bajrapani)  yang dengan tegas disebutnya berasal dari Talaga, Cheribon. Patung perunggu Budha dalam posisi Wajrapani setinggi 21 cm. itu telah saya muat gambarnya–dengan bantuan Sdr. Didik Kurniawan, SPd., staf pengelola website FIP UNY– dalam page “Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik” dari blog ini.
Yang mengundang kepenasaran saya adalah di mana sejatinya letak Kerajaan Talaga itu. Beberapa nama daerah (desa, kampung, dusun) di sekitar Situ Sangiang, Talaga, Majalengka, sejauh yang bisa terlacak lewat “google map” dan blog “adik-adik urang Talaga,” dan berbagai berita online tentan Talaga, membuat saya penasarana untuk mencoba mnelaahnya. Saiapa tahu agak benar. Makanya dimuat dalam “kontroversi” ini, karena saya benar-benar hanya menebak-tebak.
Pertama, Sunia. Sunia berada di sebelah selatan Situ Sangiang. Salah satu “putri” Talaga diberi nama Sunyalarang. Sunia (sunya, sonya) itu artinya sunyi, sepi. Larang itu terlarang (dimasuki), menyepi, atau suci. Entah kenapa nama desa itu hanya Sunia, tidak Sunyalarang. Di desa itu ada kolam pemandian yang bernama Sunyalarang dan Sunyantaka. Sunyantaka juga nama dari pemakaman (astana) yang ada di perbukitan (pasir) desa Sunia. Sunya artinya sepi, sunyi, hening, dan “antaka” artinya pencabut nyawa atau kematian. Sunyantaka artinya tempat orang-orang yang sudah meninggal yang diharapkan jiwanya berada dalam ketenangan.
Dalam kaitan dengan Kerajaan Talaga, desa Sunia ini dahulunya menjadi apa, atau sebagai wilayah apa, itu yang masih harus dilacak lebih lanjut. Setidaknya, “putri” Sunyalarang ada kemungkinan pernah bermukim di sini, entah lahir , dibesarkan, atau dididik. Entah kenapa pula kemudian ketika menjadi “ratu” Talaga bergelar Ratu Parung, ratu yang berasal atau memimpin daerah “parung,” wilayah dekat sungai yang ada bagian dangkalnya (jika hamparan pasir dan menonjol di sungai disebut “gasung” atau “gasong”).
Kedua, Darmalarang. Seperti telah disebutkan “larang” itu dapat mengandung arti suci. Darmalarang sama makna dengan Darmasuci. Darmasuci adalah nama salah satu “bagawan Budha” cikal bakal raja-raja Kerajaan Talaga. Bagawan Darmasuci I, dengan demikian, diduga membuat padepokan di Darmalarang. Di dekat desa Darmalarang itu ada nama lain (jika orang menulis di “google map” benar, yaitu Regamaya. Regamaya dapat berasal dari kata “arga” (gunung) dan “maya” (tak nyata). Itu gunung tapi bukan gunung, atau gunung tempat berkomunikasi dengan alam maya? Adakah kemungkinannya dari “argamahayana”? Atau dari “arga mahawijaya” (gunung kemahadigjayaan) seperti Talaga “Rana Mahawijaya” (kedigjayaan dalam peperangan) yang konon berubah jdi “Ranca Maya”?
Masih di dekatnya ada desa Ganeas. Ini agak menyulitkan. Kenapa tidak Ganesa? Lagi-lagi kemungkinannya dari “arga” dan “neas”(?). Apa itu “neas”? Jangan-jangan aslinya dari kata “niwesa” yang berarti tempat tinggal atau “kampus” (padepokan). Arganiwesa artinya bukit tempat padepokan atau asrama. Untuk siapa? Murid-murid Darmasuci I. Kata yang lebniuh dekat lagi adalah “nyasa” yang mengandung arti persiapan atau rencana, dan juga berarti gedung. Pertanyaannya, apakah itu dari kata “arganyasa” (bukit yang ada gedungnya), ataukah “grhanyasa” (rumah gedung). Tapi itu jadi dobel kata “rumah,” dan lagi pula grha itu biasanya berubah jadi “gara” seperti Garawastu (grhavastu) yang berarti tempat (“vastu” artinya tempat)  rumah-rumah alias kompleks perumahan.
Nah, sementara itu dulu. Sambil terus akan dilacak “nama-nama aneh” di sekitar Talaga. Ada yang mau nyambung info?

https://tatangmanguny.wordpress.com/kontroversi/melacak-jejak-kerajaan-talaga-toponomi-area-sekitar-situ-sangiang/

Legenda Situ Sangiang

Situ Sangiang terletak 800 m atau  sebelum kota Talaga dari arah selatan. Kawasan tersebut terletak pada ketinggian tanah antara 600-800 m.
Ketinggian tanah terendah berada didesa Banjaran dan tertinggi di desa Sangiang. Bentuk permukaan tanah umumnya beragam, namun secara umum adalah relatif datar dengan kemiringan lahan sampai dengan 10%. Lahan-lahan demikian umumnya dipergunakan untuk areal pesawahaan dan perairan.
Dari aspek iklim, kawasan Situ Sangiang termasuk type iklim C2 dengan intensitas curah hujan rata-rata antara tahun 1990-1997 sebesar 1.802 mm/tahun. Curah hujan tertinggi pada tahun 1990 sebesar 3.050 mm/tahun dan terendah terjadi pada tahun 1991 dengan curah hujan sebesar 716 mm/tahun.
Kawasan WW Situ Sangiang dengan pemandangan hutan campuran diantaranya mahoni dan kayu manis ditemukan juga jenis-jenis lain diantaranya alang-alang, rumput teki, gewar, rotan, saliara, kirinyuh, pohpohan, tepus, kiara, manglid, suren, benda, kemiri, pasang dan lain-lain. Sedangkna jenis fauna diantaranya ular sanca, ular sawah, burung kutilang, bincarung, cangkakak, kera, lutung, bai.

Kegiatan Wisata yang dapat dilakukan diantaranya lintas alam, bersampan, memancing dan berkemah.

Di Wana Wisata Situ Sangiang terdapat makam yang dikeramatkan. Juru kunci setempat menyebutkan, makam yang ada dipinggir Situ Sangiang ini merupakan salah satu makam tokoh penyebar Islam didaerah Majalengka dan sekitarnya.
Wajar saja bila berwisata di Situ Sangiang lebih bersifat religius. Ada yang jauh-jauh datang kesitu, hanya ingin berziarah kemakam wali dan kemudian mandi dipinggir situ. Jadi benar-benar wisata itu sangat sakral. Menurut penduduk setempat dan juru kunci situ itu merupakan penjelmaan dari sebuah kerajaan kuno yang disebut kerajaan Telaga.
Image result for situ sangiang majalengka
sumber gambar: wikiepdia

Legenda Situ Sangiang

Pada kira-kira zaman abad sebelum ke 15, kewadanaan Talaga adalah bekas salah satu kerajaan, yang bertahta bernama SUNAN TALAGA MANGGUNG, asal keturunan Raja PRABU SILIWANGI, kerajaan di SANGIANG. Beliau mempunyai dua orang putra, satu laki-laki dan satu perempuan, yang laki-laki bernama RADEN PANGLURAH dan yang perempuan bernama RATU SIMBAR KENCANA. Raden Panglurah tidak ada dikeraton sedang melakukan tetapa di GUNUNG BITUNG sebelah selatan Talaga.
Ratu SIMBAR KENCANA mempunyai suami kepala seorang patih di keraton tersebut, yang bernama PALEMBANG GUNUNG, berasal dari Palembang. Patih palembang gunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu sunan Talaga Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang murka ingin menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan membunuh mertuanya ialah Sunan Talaga Manggung. Setelah mendapat keterangan dari seorang mantra yang bernama CITRA SINGA, bahwa sang raja sangat gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu mengambil patinya raja, melainkan oleh suatu senjata  tumbak kawannya raja sendiri ketika ia lahir, dan oleh Citra Singa diterangkan bahwa yang dapat mengambil senjata itu hanya seorang gendek kepercayaan raja yang bernama Centang Barang, Setelah mendapatkan tombak tersebut, kemudian Palembang Gunung membujuk dengan perkataan yang manis-manis dan muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata tersebut, dan melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar / akan dinaikan pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang muluk-muluk dari Palembang Gunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu.

Pada suatu waktu kira-kira jam lima pagi SUNAN TALAGA MANGGUNG baru bangun dari tidurnya dan menuju jamban, beliau diintai oleh Centang Barang, kemudian di tempat yang gelap ditumbak pada pinggang sebelah kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Centang Barang setelah melakukan lari jauh dan diburu oleh yang menjaga, tetapi sang prabu bersabda, “biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka mendapat balasan dari Dewa  karena ia durhaka”. Setelah si Centang Barang keluar dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit  anggota badannya sampai ia mati.

Palembanga Gunung Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia berangkat menengoknya, tetapi keraton tidak ada (hilang) dengan seisinya hilang menjadi situ yang sekarang dinamakan SITU SANGIANG TALAGA. Setelah keadaan keraton hilang, Patih Palembang Gunung diangkat menjadi Raja di Talaga.

Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar dan ada diantaranya yang memberitahukan kepada RATU SIMBAR KENCANA atau istrinya Palembang Gunung, bahwa kematian ayah handanya adalah perbuatan suaminya sendiri. Setelah mendapat kanbar itu maka SIMBAR KENCANA membulatkan hati untuk membalas dendam kepada suaminya, atas kematian ayah handanya. Pada saat Palembang Gunung sedang tidur nyeyak di tikamnya  (digorok) oleh tusuk konde ratu Simbar Kencana, sehingga mati seketika itu juga.

Setelah gunung palembang itu mati, kerajaan belum ada yang menjabatnya maka di angkat Raden Panglurah yang baru pulang dari petapaan (putra sulung dari sunan Talalga Manggung) sedatangnya ke sangiang beliau merasa kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya nampak situ saja dan setelah beliau mendapat kabar dari orang yang bertemu di tempat itu bahwa keraton sudah dipindah tempatkan ke Walang Suji (desa Kagok).

Ketika Ratu Simbar Kencana sedang kumpulan dengan ponggawa, datanglah Raden Panglurah yang menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan kemudian oleh ratu Simbar Kencana diterangkan atas kematian ayah handanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar yang melanjutkan pemerintahan adalah Ratu Simbar kencana sendri, dan beliau (Raden Panglurah) akan menyusul ayah handanya dengan meminta empat dinas pahlawannya, setelah permintaan dikabukannya, beliau menuju Situ Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang tersebut beliau beserta pengiringnya turun ke situ sangiang dan turut menghilang.

Setelah Palembang Gunung meninggal dunia, Ratu Simbar kencana menikah lagi deangan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh dan mempunyai putra Sunan Parung, dan setelah Ratu Simbar Kencana meninggal dunia, kerajaan pun diturunkannya kepada putranya SUNAN PARUNG.
Sunan Parung mempunyai putra istri bernama Ratu Parung, melanjutkan kerajaannya dengan mempunyai suami Raden Rangga Mantra Putranya Raden Munding  Sari Agung, keturunan Prabu Siliwangi atau Padjajaran.

Dari waktu itu Raden Rangga Mantri dan Ratu Parung agamanya ganti menjadi Islam dari agama Budha, yang dikembangkan oleh SUNAN GUNUNG DJATI CIREBON (SYARIF HIDAYAT TULLOH). Raden Rangga Mantri setelah menjadi Islam namanya diganti PRABU PUCUK ULUM. Prabu Pucuk Ulum mempunyai putra bernama SUNAN WANAK PRIH. Sunan Wanak Prih menjadi raja yang bertempat diwaloang suji (Desa Kagok). Sunan Wanak Prih mempunyai putra AMPUH SURAWIJAYA SUNAN KIDAK. Setelah Sunan Wanak Prih Meninggal dunia tahta kerajaannya diturunkan kepada AMPUH SURAWIJAYA, dan kerajaan dipindahkan dari Walang Suji ke Talaga.

Ampuh Sura Wijaya mempunyai putra bernama SUNAN PANGERAN SURAWIJAYA, Sunan Ciburuy, diturunkan kepada Putranya DIPATI SUARGA. Dari putra Dipati Suarga diturunkn kepada putranya DIPATI WIRANATA. Kemudian kerajaan itu  diturnkan kepada putranya bernama RADEN SACA EYANG hingga abad ke tujuh belas.

Kerajaan dipindahkan (dihilangkan) karena penjajahan, dan pada waktu itu kerajaan di Talaga menjadi KABUPATEN. Raden Saca Nata Eyang meninggalkan kepangkatannya. Diturunkan kepada putranya bernama ARIA SECANATA. Setelah itu

Kabupaten dipindahkan ke Majalengka bertempat di Sindangkasih.
Waktu Kabupaten dipindahkan Bupati  Raden Sacanata menolak sampai beliau pada waktu itu dipensiun. Beliau mempunyai putra bernama PANGERAN SUMANEGARA. Pangeran sumanegara mempunyai putri bernama NYI RADEN ANGREK. Nyi Raden Angrek mempunyai suami bernama KERTADILAGA putra pangeran Kartanegara kamboja. Dari Kartadiliga mempunyai putra bernama NATAKUSUMAH di CIKIFAI TALAGA, sampai sekarang keturunanya masih ada, menjaga (memelihara) barang-barang kuno keturunan Raja Talaga. Barang-Barang kuno tersebut adalah BAJU KERA, ARCA-ARCA, GAMELAN, TUAH MERIAM, BEDIL SUNDUT, dan perkkas lainya yang sekarang masih ada.

Adapun bekas keratonnya sudah diubah-ubah menjadi rumah tembok, hanya pintu-pintu dan dinding-dindingnya saja yang ada terbuat dari ukiran kuno, dimiliki oleh keturunanya.

Perlu diterangkan bahwa sebelum perang, tidak sedikit yang berziarah ke Situ Sangiang dan kemakam, juga tersebar rotannya (dari talaga).
Dari luar kabupaten, masih banyak orang-orang yang berjiarah sampai sekarang. Di Situ Sangiang ada pekuncenan sebanyak tujuh orang. Demikian cerita singkat ini dikumpulkan dari orang-orang tua dan keturunanya.

Dapat dicapai dengan kendaraan roda empat dengan jarak tempuh dari Majalengka 30km. Kondisi jalan beraspal.


Sumber : https://www.sarisejarah.com/2017/04/legenda-situ-sangiang.html?m=1 

Sejarah Majalengka dari Masa Kerajaan Talaga

Kabupaten Majalengka, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Majalengka. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di utara, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan di timur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya di selatan, serta Kabupaten Sumedang di barat.
Kabupaten Majalengka terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Majalengka. Kantor Bupati terletak di Pendopo, selatan dari Alun-alun Majalengka berdekatan dengan Masjid Agung Al Imam.

Melacak jejak Kerajaan (Ketumenggungan) Talaga, juga sejarah Kabupaten Majalengka dan (sebelumnya) Kabupaten Maja. Tadinya masih ragu-ragu dengan keberadaan Kabupaten Maja dan Sindangkasih versus Majalengka. Dengan pelacakan itu, yakin seyakin-yakinnya (berdasarkan fakta sejarah) apa yang saya gali benar adanya, yakni bahwa Kabupaten Majalengka baru ada sejak adanya Kabupaten Maja (1819). Perubahan Kabupaten Maja menjadi Kabupaten Majalengka (1840) sekaligus pula mengukuhkan keyakinan tidak ada perubahan nama Kerajaan Sindangkasih menjadi Kerajaan Majalengka (zaman Pangeran Muhammad). Juga bahwa kota Majalengka baru ada sejak ibu kota Kabupaten Maja dipindahkan dari Maja ke bagian wilayah Sindangkasih, serempak dengan penamaan wilayah Sindangkasih tersebut (khusus yang jadi ibu kota) dengan nama Majalengka seperti nama kabupatennya.

Nama “maja lengka” berasal dari nama kuno yang dipakai (sinonim) untuk menyebut “maja pahit” atau “maja langu.” Maja lengka artinya maja pahit, buah maja yang pahit, karena ada juga buah maja yang manis (maja legi). Lengkit (leng dalam lengkap) artinya sama dengan pahit atau langu. Maja yang pahit itu berenuk (Crescentia cujete). Maja yang manis (maja legi atau maja batu atau Aegle marmelos) bisa dimakan dijadikan sirup, maja yang pahit (berenuk) tidak bisa dimakan, tapi biasa digunakan untuk obat malaria (sebelum kina ditemukan Junghuhn).

Dalam bahasa Sansekerta buah maja itu disebut  “bilva”, sementara pahit disebut “tikta” (lihat kamus Inggris-Sansekerta online). Kata “bilva”  itu berubah jadi “wilwa” dalam tuturan Indonesia-Jawa; majapahit = wilwatikta. Bilva= bael = buah dari Bengali, India. Bilva (bael) sendiri itu maja legi (buah maja yang manis).‎
Zaman Kerajaan  Talaga
Hasil temuan dan audiensi dengan berbagai tokoh termasuk keluarga keturunan Talaga yang tersebar di berbagai tempat di Jawa Barat serta barang-barang bersejarah yang tersimpan di Museum Talaga, Majalengka tidak bisa lepas dari sejarah Kerajaan Talaga di masa silam.

Kerajaan Talaga hingga saat ini belum dapat dipastikan letak keratonnya,berdiri dimana dan pertama kali dimana di bangunnya, masih belum jelas. Akan tetapi dari sebuah hikayat yang diperoleh penulis, kerajaan ini dibangun oleh Prabu Batara Gunung Picung putra Prabu Darma Rehe, saudara dekat Prabu Angga Larang yang mendirikan Kerajaan Pajajaran dan terkenal dengan nama Prabu Munding Sari.    

 Anda yang terlahir di abad ini tentu tidak akan mengenal Prabu Batara Gunung Picung,baik itu untuk mengabdi maupun hanya sekedar berguru kepandaian kepadanya. Tapi bila anda penasaran, berjalanlah sekitar 1 km ke arah selatan kota Talaga. Anda akan menjumpai sebuah bukit berbatu dengan nama Gunung Picung.  Di gunung ini terdapat beberapa makam,diantaranya makam Prabu Batara Gunung Picung yang berputrakan Sunan Cungkilak

Lalu Sunan Cungkilak berputrakan Sunan Benda dan bercucukan Sunan Ponggang Sang Romahyang .           Selanjutnya penerus Kerajaan Talaga setelah  Sunan Ponggang Sang Romahyang  dipegang putranya bernama Prabu Darma Suci yang berputra Begawan Resi Garasiang dan Prabu Darma Suci 2 atau lebih dikenal Sunan Talaga Manggung.     

Prabu Darma Suci 2 menampuk pimpinan kerajaan sekitar abad ke 13,karena kakaknya Begawan Garasiang lebih memilih menjadi seorang pandita daripada menjadi raja. Hingga saat ini di belahan selatan kota Majalengka, Jawa Barat di kaki Gunung Ciremai terdapat sebuah dusun bernama Dusun Garasiang Desa Giri Mulaya Kecamatan Banjaran.
Resi Garasiang dikaruniai seorang putri bernama Ratu Mayang Karuna. Ia menikah dengan putra  tua Prabu Munding Sari yaitu Prabu Guru Gantangan atau dengan nama lain Prabu Mundingsari Ageung.   

Dari hasil perkawinannya itu dikarunia seorang anak laki-laki, Raden Rangga Mantri atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Pucuk Umum Talaga

Sementara Prabu Darma Suci 2, adik kandung Resi Garasiang berputrakan Raden Panglurah dan Nyi Mas Simbar Kancana, orang-orang  kerajaan Galuh lebih senang menyebutnya Nyai mas Ratu Patuakan.      

Di sekitar puncak Gunung Ciremai, tepatnya di kawasan Pegunungan Gegerhalang terdapat beberapa makam yang belum dikenal, namun di kawasan tersebut terkesan ada tanda -  tanda bekas kehidupan di masa silam. Terutama di kawasan Gunung Pucuk antar lain terdapat nama Prabu Pucuk Umum. Wilayah ini berada di sebelah timur Situ Sangiang atau belahan selatan Gunung Ciremai perbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan.

Terhadap situs ini, pemerintah belum melakukan pendataan apalagi peneletian. Padahal, sangat diperlukan untuk mengungkap tentang keberadaan Kerajaan Talaga yang merupakan leluhur warga Majalengka. Di samping itu, juga merupakan aset budaya negara yang perlu dibuka dan dilestarikan.
Pemerintahan Batara Gunung Picung‎
Kerajaan Hindu di Talaga berdiri pada abad XIII Masehi, Raja tersebut masih keturunan Ratu Galuh bertahta di Ciamis, beliau adalah putera V, juga ada hubungan darah dengan raja-raja di Pajajaran atau dikenal dengan Raja Siliwangi. Daerah kekuasaannya meliputi Talaga, Cikijing, Bantarujeg, Lemahsugih, Maja dan sebagian Selatan Majalengka.Pemerintahan Batara Gunung Picung sangat baik, agam yang dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama Hindu.Pada masa pemerintahaannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat sepanjang lebih 25 Km tepatnya Talaga - Salawangi di daerah Cakrabuana.Bidang Pembangunan lainnya, perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di daerah Cikijing.Tampuk pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung 2 windu.Raja berputera 6 orang yaitu :- Sunan Cungkilak - Sunan Benda - Sunan Gombang - Ratu Panggongsong Ramahiyang- Prabu Darma Suci- Ratu Mayang Karuna Akhir pemerintahannya kemudian dilanjutkan oleh Prabu Darma Suci.

Pemerintahan Prabu Darma Suci
Disebut juga Pandita Perabu Darma Suci. Dalam pemerintahan raja ini Agama Hindu berkembang dengan pesat (abad ke-XIII), nama beliau dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai daerah Sumatera. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga, apakah kunjungan tamu-tamu merupakan hubungan keluarga saja tidak banyak diketahui.Peninggalan yang masih ada dari kerajaan ini antara lain Benda Perunggu, Gong, Harnas atau Baju Besi.Pada abad XIIX Masehi beliau wafat dengan meninggalkan 2 orang putera yakni:- Bagawan Garasiang - Sunan Talaga Manggung

Pemerintahan Sunan Talaga Manggung 
Tahta untuk sementara dipangku oleh Begawan Garasiang,.namun beliau sangat mementingkan Kehidupan Kepercayaan sehingga akhirnya tak lama kemudian tahta diserahkan kepada adiknya Sunan Talaga Manggung.Tak banyak yang diketahui pada masa pemerintahan raja ini selain kepindahan beliau dari Talaga ke daerah Cihaur Maja.
Pemerintahan Sunan Talaga Manggung 
Sunan Talaga Manggung merupakan raja yang terkenal sampai sekarang karena sikap beliau yang adil dan bijaksana serta perhatian beliau terhadap agama Hindu, pertanian, pengairan, kerajinan serta kesenian rakyat.Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya.Beliau berputera dua, yaitu :- Raden Pangrurah - Ratu Simbarkencana Raja wafat akibat penikaman yang dilakukan oleh suruhan Patih Palembang Gunung bernama Centangbarang. Kemudian Palembang Gunung menggantikan Sunan Talaga Manggung dengan beristrikan Ratu Simbarkencana. Tidak beberapa lama kemudian Ratu Simbarkencana membunuh Palembang Gunung atas petunjuk hulubalang Citrasinga dengan tusuk konde sewaktu tidur.Dengan meninggalnya Palembang Gunung, kemudian Ratu Simbarkencana menikah dengan turunan Panjalu bernama Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu dan dianugrahi 8 orang putera diantaranya yang terkenal sekali putera pertama Sunan Parung.

Pemerintahan Ratu Simbarkencana
Sekitar awal abad XIV Masehi, dalam tampuk pemerintahannya Agama Islam menyebar ke daerah-daerah kekuasaannya dibawa oleh para Santri dari Cirebon.juga diketahui bahwa tahta pemerintahan waktu itu dipindahkan ke suatu daerah disebelah Utara Talaga bernama Walangsuji dekat kampung Buniasih.Ratu Simbarkencana setelah wafat digantikan oleh puteranya Sunan Parung.

Pemerintahan Sunan Parung
Pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja.Hal yang penting pada masa pemerintahannya adalah sudah adanya Perwakilan Pemerintahan yang disebut Dalem, antara lain ditempatkan di daerah Kulur, Sindangkasih, Jerokaso Maja.Sunan Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung.

Pemerintahan Ratu Sunyalarang
Sebagai puteri tunggal beliau naik tahta menggantikan ayahandanya Sunan Parung dan menikah dengan turunan putera Prabu Siliwangi bernama Raden Rangga Mantri atau lebih dikenal dengan Prabu Pucuk Umum.Pada masa pemerintahannya Agama Islam sudah berkembang dengan pesat. Banyak rakyatnya yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya baik Ratu Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum memeluk Agama Islam. Agama Islam berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka.Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama Islam. Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah keturunan dari prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah beliau yang bernama Raden Munding Sari Ageung merupakan putera dari Prabu Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan Ratu Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV.Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah Selatan.

Pemerintahan Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum
Dari pernikahan Raden Rangga Mantri dengan Ratu Parung (Ratu Sunyalarang) melahirkan 6 orang putera yaitu :- Prabu Haurkuning - Sunan Wanaperih - Dalem Lumaju Agung- Dalem Panuntun - Dalem Panaekan Akhir abad XV Masehi, penduduk Majalengka telah beragama Islam.Beliau sebelum wafat telah menunjuk putera-puteranya untuk memerintah di daerah-daerah kekuasaannya, seperti halnya :Sunan Wanaperih memegang tampuk pemerintahan di Walagsuji;Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja;Dalem Panuntun di Majalengka sedangkan putera pertamanya, Prabu Haurkuning, di Talaga yang selang kemudian di Ciamis. Kelak keturunan beliau banyak yang menjabat sebagai Bupati.Sedangkan dalem Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, sukamenak, nunuk Cibodas dan Kulur.Prabu Pucuk Umum dimakamkan di dekat Situ Sangiang Kecamatan Talaga.

Pemerintahan Sunan Wanaperih
Terkenal Sunan Wanaperih, di Talaga sebagai seorang Raja yang memeluk Agama Islam pun juga seluruh rakyat di negeri ini semua telah memeluk Agama Islam.Beliau berputera 6 orang, yaitu :- Dalem Cageur - Dalem Kulanata - Apun Surawijaya atau Sunan Kidul- Ratu Radeya - Ratu Putri - Dalem Wangsa Goparana Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya Sarngsingan sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra Syech Abu Muchyi dari Pamijahan bernama Sayid Ibrahim Cipager.Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang Subang.  kelak keturunan beliau ada yang menjabat sebagai bupati seperti Bupati Wiratanudatar I di Cikundul. Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji, tetapi beliau digantikan oleh puteranya Apun Surawijaya, maka pusat pemerintahan kembali ke Talaga. Putera Apun Surawijaya bernama Pangeran Ciburuy atau disebut juga Sunan Ciburuy atau dikenal juga dengan sebutan Pangeran Surawijaya menikah dengan putri Cirebon bernma Ratu Raja Kertadiningrat saudara dari Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon.Pangeran Surawijaya dianungrahi 6 orang anak yaitu - Dipati Suwarga-Mangunjaya - Jaya Wirya - Dipati Kusumayuda - Mangun Nagara - Ratu Tilarnagara Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning. Pengganti Pangeran Surawijaya ialah Dipati Suwarga menikah dengan Putri Nunuk dan berputera 2 orang, yaitu :- Pangeran Dipati Wiranata- Pangeran Secadilaga atau pangeran Haji Pangeran Surawijaya wafat dan digantikan oleh Pangeran Dipati Wiranata dan setelah itu diteruskan oleh puteranya Pangeran SecanataEyang Raga Sari yang menikah dengan Ratu Cirebon mengantikan Pangeran Secanata. Arya Secanata memerintah ± tahun 1962; pengaruh V.O.C. sudah terasa sekali. Hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintahan di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka. Karena hal inilah terjadi penolakan sehingga terjadi perlawanan dari rakyat Talaga.Peninggalan masa tersebut masih terdapat di museum Talaga berupa pistol dan meriam.

Kerajaan Hindu Terakhir di Majalengka

Sekitar tahun 1480 (pertengahan abad XV) Masehi di Desa Sindangkasih 3 Km dari kota Majalengka ke selatan, bersemayam Ratu bernama Nyi Rambut Kasih keturunan Prabu Siliwangi, yang masih teguh memeluk Agama Hindu.
Ratu masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan Walangsungsang, kesemuanya telah masuk agama Islam. Adanya ratu di daerah Majalengka adalah bermula untuk menemui saudaranya di daerah Talaga bernama Raden Munding Sariageng suami dari Ratu Mayang Karuna yang waktu itu memerintah di Talaga. Di perbatasan Majalengka – Talaga, ratu mendengar bahwa daerah tersebut sudah masuk Islam. Sehingga mengurungkan maksudnya dan menetaplah Ratu tersebut di Sindangkasih, dengan daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati.
Pemerintahannya sangat baik, terutama masalah Pertanian diperhatikannya juga Pengairan dari Beledug-Cicuruj-Munjul dibuatnya secara teratur. Kira-kira tahun 1485 putera Raden Rangga Mantri yang bernama Dalem Panungtung diperintahkan menjadi Dalem di Majalengka, yang mana membawa akibat pemerintahan Nyi Rambut Kasih terjepit oleh pengaruh Agama Islam.
Kemudian lagi pada tahun 1489 utusan Cirebon, Pangeran Muhammad dan isterinya Siti Armilah atau Gedeng Badori diperintahkan untuk mendatangi Nyi Rambut kasih dengan maksud agar Ratu maupun Kerajaan Sindangkasih masuk Islam dan Kerajaan Sindangkasih masuk kawasan ke Sultanan Cirebon. Nyi Rambut Kasih menolak, timbul pertempuran antara pasukan Sindangkasih dengan pasukan Kesultanan Cirebon. Kerajaan Sindangkasih menyerah dan masuk Islam sedangkan Nyi Rambut kasih tetap memeluk agama Hindu. Mulai saat inilah ada Candra Sangkala Sindangkasih Sugih Mukti tahun 1490.
Abad XVI Agama Islam Masuk Daerah Majalengka

Daerah-daerah yang masuk Daerah Kesultanan Cirebon, dan telah semuanya memeluk Agama Islam ialah Pemerintah Talaga, Maja, Majalengka. Penyebaran agama Islam di daerah Majalengka terutama didahului dengan masuknya para Bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar lain antaranya: Dalem Sukahurang atau Syech Abdul Jalil dan Dalem Penuntun Semua di Maja. Pangeran Suwarga di Talaga yang lainnya Pangeran Muhammad, Siti Armilah, Nyai Mas Lintangsari, Wiranggalaksana, Salamuddin, Putera Eyang Tirta, Nursalim, RH Brawinata, Ibrahim, Pangeran Karawelang, Pangeran Jakarta, Sunan Rachmat di Bantarujeg dan masih banyak lagi.
Tahun 1650 Majalengka masuk pengaruh Mataram karena Cirebon telah menjadi kekuasaan Mataram. Waktu itu Cirebon dipegang oleh Panembahan Ratu II atau Sunan Girilaya.

Pengaruh Sultan Agung Mataram Abad XVII

Tahun 1628 Tumenggung Bahureksa diperintahkan oleh Sultan Agung untuk menyerang Batavia. Dengan bantuan pasukan-pasukan dari daerah-daerah manapun masalah logistiknya, juga pendirian logi-logi banyak didirikan di Jatiwangi, Jatitujuh dan Ligung.
Besar pengaruhnya Mataram terhadap daerah Majalengka, dimana pula banyak orang Mataram yang tidak sempat lagi ke asalnya, dan akhirnya menetap di Majalengka.

Abad ke-XVII merupakan juga bagian dari pada peristiwa pertempuran Rangga Gempol yang berusaha membendung pasukan Mataram ke wilayah Priangan. Hal ini perlu diketahui bahwa wilayah Priangan akan diserahkan kepada V.O.C. (tahun 1677). Pasukan Rangga Gempol mundur ke Indramayu dan Majalengka. Hubungan sejarah Sumedang yang menyatakan bahwa Geusan Ulun merupakan penurun para Bupati Sumedang. Majalengka waktu itu masuk kekuasaan Sunan Girilaya, katanya menyerahkan daerah Majalengka kepada Sunan tersebut sebagai pengganti Putri Harisbaya yang dibawa lari dari Keraton Cirebon ke Sumedang. Tahun 1684 Cirebon diserahkan Mataram kepada V.O.C. maka otomatis Majalengka masuk Daerah V.O.C.
Masa Penjajahan Belanda dan Penghapusan Kekuasaan Bupati Abad XVIII
Tahun 1705, seluruh Jawa Barat masuk kekuasaan Hindia Belanda, pada tahun 1706 pemerintah kolonial menetapkan Pangeran Aria Cirebon sebagai Gubernur untuk seluruh Priangan. Olehnya para Bupati diberikan wewenang untuk mengambil pajak dari rakyat, termasuk Majalengka bagi kepentingan upeti kepada pemerintah Belanda. Paksaan penanaman kopi di daerah Maja, Rajagaluh, Lemahsugih berakibat banyak rakyat jatuh kelaparan.

Majalengka pada Abad XIX

Tidak saja tanam paksa kopi, Pemerintah Hindia Belanda pun memaksa rakyat untuk menanam lada, tebu dan lain-lain tanaman yang laku di pasaran Eropa untuk pemerintah Kolonial tersebut. Berakibat fatal bertambah berat beban rakyat, sengsara maupun kelaparan terjadi dimana-mana.

Tahun 1805 pemberontakan Bagus Rangin dari Bantarjati menentang Belanda, pertempuran pecah dengan sengitnya di daerah Pangumbahan. Kekuatan 10.000 orang dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda.±Bagus Rangin 12 Juli 1812 sebagai Pahlawan Bagus Rangin menerima hukuman penggal kepala di Kali Cimanuk dekat Karangsambung. Waktu itu Gubernur Hindia Belanda Henrck Wiesel (tahun 1804-1808) kemudian dilanjutkan Herman Willem Daendels (tahun 1808-1811) dan tahun 1811-1816 kemudian Thomas ST, Raffles.

Pemerintah Baru di Majalengka

Dengan bisluit Gubernur Jendral tanggal 5 Januari tahun 1819 berdirilah Keresidenan Cirebon dengan Kabupaten Cirebon, Raja Cola, Bangawan Wetan, Maja dan Kuningan. Selanjutnya Kabupaten Maja atau Kabupaten Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka.
Kabupaten Majalengka sejak tahun 1819 sampai sekarang (tahun 2002) telah mengalami 22 kali masa pemerintahan yang dipimpin oleh Bupati/Kepala Daerah.

RIWAYAT MAJALENGKA SEPANJANG CERITERA

Di bawah ini diutarakan secara singkat beberapa ceritera tentang riwayat asal mula terjadinya “Majalengka”, pendirinya, serta makna atau kata “Majalengka” itu sendiri.
Arti kata dari sesuatu nama tempat atau orang, bagi orang barat adalah dipandang tidak penting. Meraka lazim mengatakan “What is an name”. Tetapi orang timur nama bukan sekedar nama. Nama dipandang memiliki arti, dasar dan tujuan tertentu.
Bung Karno Presiden Republik Indonesia pernah mengatakan: “In a name is everythings” dalam warna bersemayam aneka warna dan benda. Demikian pula “Majalengka” sebagai suatu nama dari suatu Daerah, sesuatu tempat, atau sesuatu kota. Nenek moyang atau para leluhur tidak akan demikian saja memberi nama tanpa dasar yang mendalam dan tanpa tujuan tertentu yang luhur bagi kelanjutan keturunannya.

Bagi orang timur tentang nama mempunyai “Latar Belakang” yang khas demikian pula dengan “Majalengka” itu.
POHON “MAJA” JADI “LANTARAN”
Alkisah diceritakan, bahwa kira-kira pada abad ke 15 Masehi berdirilah suatu kerajaan Hindu yang disebut SINDANGKASIH (kini hanya sebuah desa terlatak di sebelah tenggara ibu kota Majalengka jarak 3 Km di luar kota).
Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu cantik molek dan sangat sakti serta fanatik terhadap agama yang dipeluknya. Dari mana asalnya ratu itu tidak diceritakan. Namanya ialah RATU NYI RAMBUTKASIH (setegah orang mengatakan NYI AMBET KASIH). Berkat pemimpin ratu yang bijaksana dan sakti itu, maka kerajaan Sindangkasih menjadi suatu daerah yang aman-makmur, gemah-ripah loh-jinawi, tata-tentrem kertaraharja.
Rakyatnya hidup tentram damai dan aman sentosa, “rea ketan rea keton”. Demikian sejahtera dan bahagianya sehingga Sidangkasih dapat gelar Sugih Mukti yang berarti “karya serta Bahagia”.

Pengidupan rakyatnya sendiri dari bercocok tanam, terutama padi, sedang pakaiannya menenun sendiri dari hasil kapas tanamannya. Di lembah-lembah sungai subur ditanami tebu yang dibuat gula merah disamping gula dari pohon aren. Sebagian daerahnya terdiri dari hutan rimba yang membujur ke arah utara dan selatan. Konon kabarnya dalam hutan itu bukan pohon kayu jati yang banyak, akan tetapi penuh dengan pohon maja. Batangnya lurus-lurus dan tinggi-tinggi, tetapi daunnya kecil-kecil dan pahit mempunyai khasiat untuk mengobati penyakit demam. Buahnya mirip buah “Kawista”, tetapi kulitnya agak lunak, isinya kalu serasa dengan ubi jalar jenis “nikrum” yang dibakar (“dibubuy” Sunda).

Sementara itu antara 1552 – 1570 Cirebon telah diperintah oleh seorang Guru Besar Islam yaitu wali bernama SYARIF HIDAYATULLAH atau SUNAN GUNUNG JATI. Konon Cirebon pernah terserang penyakit demam yang sangat hebat dan banyak korban. Sunan Gunung Jati karena seorang Wali yang agung selalu waspada, telah mengutus puteranya yang bernama PANGERAN MUHAMMAD untuk pergi mencari pohon maja ke daerah Sindangkasih guna ramuan obat penyembuh bagi rakyatnya, sekaligus dalam rangka tugas menyebarkan agama Islam.
Pangeran Muhammad berangkat menuju Sindangkasih disertai isterinya bernama NYI SITI ARMILAH yang berasal dari Demak/Mataram yang diserahi pula tugas untuk membantu suaminya dan ikut menyebarkan agama Islam.
Nyi Rambutkasih sebagai ratu Sindangkasih yang “waspada permana tingal” telah mengetahui akan kedatangan utusan Sunan Gunung Jati itu.

Hatinya tidak ikhlas daerahnya diinjak oleh orang lain yang memeluk agama Islam. Konon kabarnya sebelum Pangeran Muhammad bertemu dengan Ratu Sindangkasih, hutan Sindangkasih yang asal mulanya penuh dengan pohon maja itu, telah “dicipta” berganti rupa, beralih menjadi raya yang sangat lebat tanpa sebatang pun masih tumbuh pohon maja yang berkhasiat itu.
Pangeran Muhammad beserta isterinya alangkah kecewa dan terkejutnya demi diketahuinya ketika tiba di Sindangkasih itu, pohon maja yang diperlukannya sudah tidak ada lagi. Maka pada saat itu dari Pangeran Muhammad keluarlah ucapan “Maja Langka” (bahasa jawa) artinya “Maja tidak ada”.

Dengan peristiwa itu, Pangeran Muhammad sangat perihatin dan berniat akan kembali ke Cirebon, sebelum maksudnya berhasil. Untuk itu Pangeran Muhammad pergi bertapa di kaki gunung sampai wafatnya, dan gunung itu kini bernama “Margatapa”.
Sebelum pergi bertapa, Pangeran Muhammad memberi amanat kepada isterinya (Nyi Siti Armilah), untuk terus berusaha menemukan pohon maja itu dan berusaha menaklukan Nyi Rambutkasih agar memeluk agama Islam.
Pada suatu ketika Nyi Siti Armilah, dapat bertemu dengan Nyi Rambutkasih, suatu pertemuan antara seorang pemeluk dan penyebar agama Islam dengan seorang pemeluk dan fanatik terhadap agama Hindu.
Nyi Rambutkasih tidak dapat menerima ajakan dan ajaran Nyi Siti Armilah untuk memeluk agama Islam. Nyi Siti Armilah berusaha keras untuk menginsafkan Nyi Rambutkasih sampai-sampai pada kalimat:
“Manusia itu pasti mati, kembali ke alam baqa, hidup di dunia ini ada batasnya”.
Nyi Rambutkasih dengan tegas membalas: “Aku seorang Ratu pelindung rakyat yang berkelakuan jujur dan baik, sebaliknya aku adalah Ratu yang tak pernah ragu-ragu untuk menghukum rakyatnya yang bertindak curang dan buruk. Dan karena itu aku tak akan mati dan tidak mau mati”.‎
“jika demikian halnya” jawaban Nyi Siti Armilah, “makhluk apakah gerangan namanya, yang tidak akan mati dan tidak mau mati ?”.
bersama dengan ucapan Nyi Siti Armilah ini, lenyaplah “diri (jasad) Nyi Rambutkasih Ratu Sindangkasih itu dari dunia fana ini tanpa meninggalkan bekas kuburannya (“ngahiang” Sunda).
Orang sekarang hanya mendapatkan beberapa “patilasan” bekas-bekas Nyi Rambutkasih semasa memerintah yang sampai sekarang masih dianggap “angker” seperti sumur “Sindangkasih”, sumur “Sunjaya”, sumur “Ciasih” dan batu-batu bekas bertapa yang terdapat dalam kota dan sekitarnya.

Nyi Siti Armilah selanjutnya terus menetap di Kerajaan Sindangkasih ini menyebarkan agama Islam sampai wafat dan jenzahnya dimakamkan dipinggir kali Citangkurak, dimana tumbuh pohon “BADORI” sesuai dengan amanatnya, dimana konon ditegaskan, bahwa dekat kuburannya itu dikemudian hari akan menjadi tempat tinggal Penguasa yang memerintah Majalengka, yang mengatur pemerintahan daerah maja yang langka itu.
Demikian makam Nyi Siti Armilah terletak dibelakang gedung Kabupaten Majalengka yang sekarang dan orang sering menamakan Embah Gendeng Badori.

Setelah peristiwa Nyi Rambutkasih “ngahiang” itu, maka banyak penyebar-penyebar agama Islam dari Daerah Cirebon dan Mataram datang ke daerah Kerajaan Sindangkasih yang telah berganti nama jadi Majalengka itu.
Yang terpenting diantaranya ialah: Embah Haji Salamodin, berasal dari Mataram yang diutus oleh Sunan Gunung Jati supaya menyebarkan agama Islam dan mendirikan Pesantren. Tempatnya di Babakanjawa dan dimakamkan di sini, Putera Sultan Agung, berasal dari Mataram salah seorang murid Sunan Gunung Jati yang mendapat gelar Dalem Panungtun/Panungtung, karena pada ketika itu berakhirlah riwayat Budha di Majalengka, dan karena beliaulah yang menuntunnya ke ajaran agama Islam. Dimakamkan di Girilawungan, Embah Wiranggalaksana, berasal dari Tubang dimakamkan di Samojaopat, Majalengka-kulon.
Ceritera “ngahiangnya” Nyi Rambutkasih ini demikian mendalamnya sehingga merupakan “legenda” bagi rakyat asli Majalengka, dan terhadap kesaktiannya seta “masih adanya” itu merupakan suatu mythos, suatu kepercayaan yang masih melekat dengan kuatnya.
Hal ini disebabkan karena sering terjadinya ada orang-orang yang “kawenehan” yaitu bertemu dengan mendadak tanpa diketahui lebih dahulu dari mana datangnya dan tidak mengenal sebelumnya dengan ujud seorang Wanita di malam hari yang menamakan dirinya Nyi Rambutkasih. Adakalanya orang-orang menjadi kesasar atau gila, atau sakit dan sebagainya. Yang menurut kepercayaan karena diganggu oleh roh Nyi Rambutkasih itu.

Dibalik itu, rakyat Majalengka mempunyai kepercayaan yang amat kuat, bahwa selama Nyi Rambutkasih “ngageugeuh” Majalengka, dan orang-orangnya tetap berlaku baik dan jujur maka Sindangkasih Sugih Mukti itu pasti akan teralami pula pada waktu-waktu yang mendatang. Kebalikannya jika tidak, maka Nyi Rambutkasih akan murka dan akan menimbulkan malapetaka. Wallohu, alam bisawab.

INGAT AKAN ASAL PERMULAN PENCEGAH PERANG SAUDARA

Menurut ceritera, pada waktu Kerajaan Galuh masih menganut agama Budha, konon putera Raja yang tertua telah masuk Islam dan menjadi murid Sunan Gunung Jati Cirebon. Putera Galuh itu menurut riwayat namanya SUNAN UNDUNG, telah diutus oleh Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam ke jurusan barat daya.
Diantara tugas itu telah termasuk kewajiban mengajak adiknya dikerajaan Galuh yang masih saja memeluk agama Budha.
Kedua saudara yang masing-masing berlainan agama itu telah bertemu di suatu tempat yang agak tinggi menyerupai gunung yang terletak di daerah hutan Sindangkasih yang kini disebut orang GIRILAWUNGAN yang berarti gunung tempat bertemu dan berhadapan-hadapan.‎

Putera Galuh itu masing-masing mempertahankan keyakinan akan kebenaran agama yang dipeluknya, sehingga pertarungan yang bagaimanakah kenyataannya? Tengah kedua saudara itu bertengkar, maka tiba-tiba mereka akan ingat akan “purwadaksina” ingat kepada asal permulaannya, bahwa mereka itu kedua-duanya adalah saudara, dan ingat akan adanya hubungan bathin kekeluargaan dan keturunan yang menjadikan mereka. Setelah mereka berdua ingat akan hal itu, maka perang saudara yang akan meletus itu, tidak sampai terjadi, kedua-duanya kembali damai. Mereka sadar tak ada manfaatnya mempertengkarkan agama.
Sambil berpisah mereka mengeluarkan kata-kata media lengka artinya “ditengah-tengah eling kepada asal permulaan”.
Demikian “madia-lengka” berubah dibunyikan menjadi Majalengka.
Wallahualam.
“”LANGKAH” SITI ARMILAH
Pada saat Pangeran Muhammad beserta isterinya Nyi Siti Armilah melaksanakan amanat Sunan Gunung Jati untuk mencari pohon maja di kerajaan Sindangkasih dan mengajak Nyi Ratu Rambutkasih untuk memeluk agama Islam, maka sebagian orang menceriterakan asal mula terjadinya Majalengka itu agak berlainan.
Pangeran Muhammad dan Siti Armilah telah sampai di daerah Hutan Sindangkasih yang penuh dengan pohon maja. Tempat mereka mula-mula menemukan pohon itu terletak di suatu daerah pegunungan yang sekarang disebut maja (ibukota kecamatan Maja). Nyi Siti Armilah mendapat amanat suaminya untuk langsung menundukkan Nyi Ratu Rambutkasih yang bertahta di Sindangkasih agar berganti memeluk agama Islam.
Untuk memudahkan perjalanan menempuh hutan rimba itu, Nyi Siti Armilah diberi ayam jantan oleh suaminya. Konon ayam jantan itu namanya Si Jalak Harupat. Kemana ayam jantan itu pergi, harus diikuti jejaknya sampai nanti berkokok.
Kokok ayam tadi akan menandakan bahwa tempat yang akan dituju telah tercapai. Demikianlah si Jalak Harupat dilepaskan dan jejaknya diikuti dengan langkah-langkah Nyi Siti Armilah. Akhirnya si Jalak Harupat berkokok tepat di stuatu tempat yang dituju yaitu tempat yang sekarang menjadi kota Majalengka.
Pada saat itulah Siti Armilah menamakan tempat yag dituju bukan Sindangkasih tetapi “Maja alengka” sebagai peringatan baginya yang mula-mula dari “maja melangkahkan kakinya sampai ditempat yang ditujunya”. Wallahualam
.
ANTARA “ADA DAN TIADA”
Ada pula ceritera orang yang meriwayatkan terjadinya Majalengka itu lain lagi. Pengaruh kekuasaan Sultan Agung Mataram ternyata meluas ke arah barat, maksudnya pulau Jawa sebelah barat. Tersebutlah seorang Sunan Jebug yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram ia tetap mempertahankan daerahnya (daerah Majalengka sekarang) bebas dari penguasaan Sultan Agung Mataram yang mengakibatkan timbulnya amarah Sultan. Sultan Agung Mataram segera mengirimkan 40 orang hulu balang merebut daerah Sunan Jebug melihat gelagat yang tidak enak ini Sunan Jebug bersepakat dengan senopatinya yang bernama Endang Capang untuk menghindari pertempuran dan pertumpahan darah.
Sebelum 40 orang hulu balang datang dari Mataram tiba di daerahnya, maka Sunan Jebug dan Endang Capang bersembunyi dan hanya meninggalkan patilasan saja. Begitulah ketika pasukan Hulubalang Mataram tiba di daerah ini maka tak seorang pun yang dapat menemukan dimana Sunan Jebug dan Senopati Endang Capang bersembunyi. Akhirnya seorang diantara hulubalang itu berseru: “Madia Langka”. Antara ada dan tiada. Dikatakan tiada memang tidak sampai ditemukan, dikatakan ada karena ada patilasan berkas-berkasnya. Demikianlah dari Madia Langka berubah menjadi Majalengka. Wallahualam.
NEGARA “TENGAH”
Pihak lain tidak mengutarakan asal mula terjadinya Majalengka. Tetapi hanya mengupas kata Majalengka setelah meninjau dari segi-segi tertentu. Rakyat pulau Jawa umumnya mengetahui bahwa dahulu kala orang menyebut “Buana Panca Tengah” yang dimaksudkan ialah Indonesia sekarang khususnya Pulau Jawa. Dihubungkannya dengan ceritera Ramayana dan Kerajaan Alengka yang diartikan “Negara”. Adapun “maja” diartikan “madia” bukan nama pohon tetapi “tengah”. Kenyataan “tengah” itu ditinjau dari segi-segi: Ilmu Bumi, letak daerah Majalengka ini di tengah-tengah antara pegunungan dan pedataran, Pemerintahan, terletak di tengah-tengah kekuasaan Islam (Cirebon/Mataram) dan Hindu/Budha (Galuh-Pajajaran), Ilmu Bangsa-Bangsa, rakyat daerah ini berada di tengah-tengah suku Jawa dan suku Sunda, Kebudayaan, Kebudayaannya sebagian pengaruh kebudayaan Jawa, lainnya kebudayaan Sunda.
Demikian katanya, Majalengka adalah “Negara Tengah”, dalam segala hal termasuk golongan “pertengahan”, tidak pernah menonjol dan meninggi luar biasa, dan sebaliknya pula belum pernah ketinggalan dan menurun sampai paling terbelakang. Dalam segala hal selalu “siger-tengah”.
Sesungguhnya masih terdapat beberapa buah lagi ceritera-ceritera yang meriwayatkan terjadinya Majalengka, demikian pula kupasan-kupasan mengenai tafsiran arti kata Majalengka dan nama-nama pendirinya pun berbeda-beda. Bolehlah mempercayainya, dan tiada larangan untuk menolaknya. Tetapi tiada perlu untuk dijadikan bahan pertengkaran, karena selama riwayat aslinya belum diketemukan dan diketahui umum, semua itu hanya sekedar pembantu sekedar panawar bagi mereka yang ingin mengetahui riwayat nama daerah tempat tumpah darahnya, sebelum memaklumi yang sebenarnya.
Dari ringkasan-ringkasan riwayat yang berbeda-beda itu dapat dikatakan bahwa, “Majalengka” adalah nama yang diwariskan nenek moyang sejak ratusan tahun yang lalu.
Suatu nama yang diberikan untuk menandai suatu daerah yang mengandung nilai-nilai lahir dan nilai-nilai bathin.
Begitu pula halnya dengan Sindangkasih yang mempunyai riwayat lebih luas daripada Majalengka, kedua macam nilai dan unsur lahir dan batin-pun dimilikinya.
Unsur lahir menunjukkan, sejak dulu kala, daerah ini memang masyhur akan kesuburan tanahnya dan kemakmuran rakyatnya.
Unsur batin menyatakan, bahwa nenek moyang pun adalah orang-orang yang memeluk agama menurut zamannya serta keyakinannya. Dalam mempertahankan keyakinan, ditempuhnya jalan yang bijaksana, menghindari perang saudara antara sesama ummat manusia.
Terletaklah tugas dan kewajiban di pundak para keturunannya untuk memelihara warisan nenek moyang ini dengan sebaik mungkin, agar supaya daerah ini dengan modal unsur lahir batin tadi dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat umumnya, sehingga dapat merasakan nikmatnya hidup bahagia dan sentosa dengan meratakan keadilan dan kemakmuran yang turun-temurun.‎

Keadaan alam Kota Majalengka
Geologi‎
Menurut keadaan geologi yang meliputi sebaran dan struktur batuan, terdapat beberapa batuan dan formasi batuan yaitu Aluvium seluas 17.162 Ha (14,25%), Pleistocene Sedimentary Facies seluas 13.716 Ha (13,39%), Miocene Sedimentary Facies seluas 23,48 Ha (19,50%), Undiferentionet Vulcanic Product seluas 51.650 Ha (42,89%), Pliocene Sedimentary Facies, seluas 3.870 Ha (3,22%), Liparite Dacite seluas 179 Ha (0,15%), Eosene seluas 78 Ha (0,006%), Old Quartenary Volkanik Product seluas 10.283 Ha (8,54%). Jenis-jenis tanah di Kabupaten Majalengka ada beberapa macam, secara umum jenis tanah terdiri atas Latosol, Podsolik, Grumosol, Aluvial, Regosol, Mediteran, dan asosianya. Jenis-jenis tanah tersebut memegang peranan penting dalam menentukan tingkat kesuburan tanah dalam menunjang keberhasilan sektor pertanian.

Morfologi‎
Keadaan morfologi dan fisiografi wilayah Kabupaten Majalengka sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian suatu daerah dengan daerah lainnya, dengan distribusi sebagai berikut :

Morfologi dataran rendah yang meliputi Kecamatan Kadipaten, Panyingkiran, Dawuan, Jatiwangi, Sumberjaya, Ligung, Jatitujuh, Kertajati, Cigasong, Majalengka, Leuwimunding dan Palasah. Kemiringan tanah di daerah ini antara 5%-8% dengan ketinggian antara 20-100 m di atas permukaan laut (dpl), kecuali di Kecamatan Majalengka tersebar beberapa perbukitan rendah dengan kemiringan antara 15%-25%.
Morfologi berbukit dan bergelombang meliputi Kecamatan Rajagaluh dan Sukahaji sebelah Selatan, Kecamatan Maja, sebagian Kecamatan Majalengka. Kemiringan tanah di daerah ini berkisar antara 15-40%, dengan ketinggian 300-700 m dpl.
Morfologi perbukitan terjal meliputi daerah sekitar Gunung Ciremai, sebagian kecil Kecamatan Rajagaluh, Argapura, Talaga, sebagian Kecamatan Sindangwangi, Cingambul, Banjaran, Bantarujeg dan Lemahsugih dan Kecamatan Cikijing bagian Utara. Kemiringan di daerah ini berkisar 25%-40% dengan ketinggian 

Siapa Pangeran Muhammad

Makam Pangeran Muhammad di Perbukitan Margatapa, Kelurahan Cicurug, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Foto/SINDOn...