ni satu “page” lain berkenaan dengan Kerajaan Talaga. Kerajaan Talaga amat miskin dengan tinggalan sejarah yang berupa artefak atau “prasasti” dan sumber tulisan lainnya. Dua saja yang setidaknya sudah meyakinkan saya. Pertama, Wawacan Bujangga Manik yang menyebut “dayeuh” (kota) Walang Suji dan “nama kerajaan” alas Talaga, dengan anggapan dasar (asumsi) Prabu Jaya Pakuan yang bersembunyi dalam alias Bujangga Manik itu benar-benar mendeskripsikan (memaparkan) topografi (sebutan-sebutan daerah) sebagaimana adanya. Tidak ada unsur subjektivitas di dalamnya, karena hanya menyebutkan saja.
Kedua, tulisan Pauline C.M. Lunsingh Scheurleer dan Marijke J. Klokke, “Ancient Indonesia Bronzes: A Catalogue of the Exhibition in the Rijkmuseum,” 1988. Scheurleer dan Klokke menampilkan gambar patung Bodhisattwa dalam bentuk Vajrapani (Wajrapani, Bajrapani) yang dengan tegas disebutnya berasal dari Talaga, Cheribon. Patung perunggu Budha dalam posisi Wajrapani setinggi 21 cm. itu telah saya muat gambarnya–dengan bantuan Sdr. Didik Kurniawan, SPd., staf pengelola website FIP UNY– dalam page “Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik” dari blog ini.
Yang mengundang kepenasaran saya adalah di mana sejatinya letak Kerajaan Talaga itu. Beberapa nama daerah (desa, kampung, dusun) di sekitar Situ Sangiang, Talaga, Majalengka, sejauh yang bisa terlacak lewat “google map” dan blog “adik-adik urang Talaga,” dan berbagai berita online tentan Talaga, membuat saya penasarana untuk mencoba mnelaahnya. Saiapa tahu agak benar. Makanya dimuat dalam “kontroversi” ini, karena saya benar-benar hanya menebak-tebak.
Pertama, Sunia. Sunia berada di sebelah selatan Situ Sangiang. Salah satu “putri” Talaga diberi nama Sunyalarang. Sunia (sunya, sonya) itu artinya sunyi, sepi. Larang itu terlarang (dimasuki), menyepi, atau suci. Entah kenapa nama desa itu hanya Sunia, tidak Sunyalarang. Di desa itu ada kolam pemandian yang bernama Sunyalarang dan Sunyantaka. Sunyantaka juga nama dari pemakaman (astana) yang ada di perbukitan (pasir) desa Sunia. Sunya artinya sepi, sunyi, hening, dan “antaka” artinya pencabut nyawa atau kematian. Sunyantaka artinya tempat orang-orang yang sudah meninggal yang diharapkan jiwanya berada dalam ketenangan.
Dalam kaitan dengan Kerajaan Talaga, desa Sunia ini dahulunya menjadi apa, atau sebagai wilayah apa, itu yang masih harus dilacak lebih lanjut. Setidaknya, “putri” Sunyalarang ada kemungkinan pernah bermukim di sini, entah lahir , dibesarkan, atau dididik. Entah kenapa pula kemudian ketika menjadi “ratu” Talaga bergelar Ratu Parung, ratu yang berasal atau memimpin daerah “parung,” wilayah dekat sungai yang ada bagian dangkalnya (jika hamparan pasir dan menonjol di sungai disebut “gasung” atau “gasong”).
Kedua, Darmalarang. Seperti telah disebutkan “larang” itu dapat mengandung arti suci. Darmalarang sama makna dengan Darmasuci. Darmasuci adalah nama salah satu “bagawan Budha” cikal bakal raja-raja Kerajaan Talaga. Bagawan Darmasuci I, dengan demikian, diduga membuat padepokan di Darmalarang. Di dekat desa Darmalarang itu ada nama lain (jika orang menulis di “google map” benar, yaitu Regamaya. Regamaya dapat berasal dari kata “arga” (gunung) dan “maya” (tak nyata). Itu gunung tapi bukan gunung, atau gunung tempat berkomunikasi dengan alam maya? Adakah kemungkinannya dari “argamahayana”? Atau dari “arga mahawijaya” (gunung kemahadigjayaan) seperti Talaga “Rana Mahawijaya” (kedigjayaan dalam peperangan) yang konon berubah jdi “Ranca Maya”?
Masih di dekatnya ada desa Ganeas. Ini agak menyulitkan. Kenapa tidak Ganesa? Lagi-lagi kemungkinannya dari “arga” dan “neas”(?). Apa itu “neas”? Jangan-jangan aslinya dari kata “niwesa” yang berarti tempat tinggal atau “kampus” (padepokan). Arganiwesa artinya bukit tempat padepokan atau asrama. Untuk siapa? Murid-murid Darmasuci I. Kata yang lebniuh dekat lagi adalah “nyasa” yang mengandung arti persiapan atau rencana, dan juga berarti gedung. Pertanyaannya, apakah itu dari kata “arganyasa” (bukit yang ada gedungnya), ataukah “grhanyasa” (rumah gedung). Tapi itu jadi dobel kata “rumah,” dan lagi pula grha itu biasanya berubah jadi “gara” seperti Garawastu (grhavastu) yang berarti tempat (“vastu” artinya tempat) rumah-rumah alias kompleks perumahan.
Nah, sementara itu dulu. Sambil terus akan dilacak “nama-nama aneh” di sekitar Talaga. Ada yang mau nyambung info?
https://tatangmanguny.wordpress.com/kontroversi/melacak-jejak-kerajaan-talaga-toponomi-area-sekitar-situ-sangiang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar